Cina Bangka dan Sofyan Tan

11:29, 22/07/2010

Catatan:

H. Affan Bey Hutasuhut

Meski sudah berletih-letih siang dan malam, pasangan Sofyan Tan-Nelly Arma yanti akhirnya gagal duduk di ’kursi empuk’ Medan 1. Dia ditaklukkan oleh pasangan Rahudman-Eldin dengan perolehan angka 485.446. Sedangkan pria yang dikenal sebagai tokoh pendidikan dan pengusaha yang sukses di Tanah Deli ini cuma mampu meraih  251.435 (34,12 persen). Kalah telak memang.

Namanya gagal, biasanya jarang ada orang yang sanggup untuk bersukacita. Apalagi upaya terakhirnya menggugat kemenangan lawannya yang ditudingnya melakukan  berbagai kecurangan itu dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi pula.

Pertanyaannya, apakah Sofyan Tan harus meratapi nasibnya yang sudah membuang banyak duit, tenaga, pikiran, untuk menutupi cost politiknya. Rasanya tak usahlah ya Bang. Kan banyak orang bilang, kekalahan itu adalah kemenangan yang tertunda. Aku syor kali Bang dengan pendapat ini. Yang jadi soal tentu harus dikaji apa penyebab utama kalahnya pasangan Abang. Teliti pada banyak  sumber yang pas. Kalau sudah tahu persis,  maka telanlah ’pil pahit’ sebagai obat penyembuh yang jitu untuk bertarung kembali nanti pada Pemilu Kada Medan tahun 2015 nanti.

Sebenarnya, sebelum Abang sudah ada beberapa tokoh Tionghoa yang maju sebagai calon kepala daerah. Bedanya Abang kalah, mereka menang. Kalau mau, ada beberapa resep yang layak disimak. Misalnya, mencari tahu apa sih hebatnya Ir Basuki T Purnama MM yang berhasil menjadi Bupati Belitung Timur pada 7 Agustus 2007 lalu.

Pembauran

Sukses Basuki jelas bukan karena dia dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Atau karena kampanyenya yang habis-habisan akan mensejahterakan rakyat Belitung Timur. Tapi karena etnis Tionghoa di sana sejak dulu memang telah membuang jauh-jauh sikap ekslusif yang tabiatnya sama dengan sok paling hebat. Sejarah mencatat, sejak warga Tionghoa datang dan bermukim di tanah penghasil timah itu, mereka sudah berbaur dan sangat toleran dengan berbagai kelompok masyaraka setempat.

Seperti halnya juga di Bangka, mereka tidak sungkan menikah dengan wanita Melayu. Atau wanita Tionghoa kawin dengan lelaki Melayu. Yang membuat aku bangga, si Ahok atau si Ling Ling ini memilih pujaan hatinya bukan karena banyak duit lo. Tapi sikap dasar mereka yang memandang warga lokal  memang sepantasnya untuk digauli. Makanya warga Tionghoa agamanya beragam. Mulai dari Buddha, Konghucu, Islam, dan Kristen.
Biasanya orang banyak menganggap kalau orang Tionghoa identik sebagai pengusaha kaya dan bergelimang duit. Padahal di Bangka atau Belitung mereka ada yang sukses tapi banyak pula jadi wong cilik. Selain jadi pengusaha gurem, mereka ada yang jadi nelayan, sopir atau jadi kuli di pasar dengan penghasilan yang kecil. Mereka biasa tinggal di kampung-kampung dan berbaur dengan sesama warga lokal.

Pembauran di sana sudah benar-benar menancap jauh di lubuk hati. Bukan basa-basi karena menuruti anjuran pemerintah. Kalau ada acara perayaan 17 Agustus, anak-anak turunan Tionghoa atau Tionghoa-Melayu ikut berkompetisi ria dalam pertandingan tarik tambang dan sebagainya. Jaga malam alias ronda, mereka ikut bersama. Bukan kayak di Medan yang lebih banyak membayar sebagai gantinya.

Kondisi yang aman dan tenteram inilah kemudian yang membuat Pulau Belitung atau Bangka dijadikan sasaran pengungsian oleh etnis Tionghoa dari Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia saat terjadinya kerusuhan etnis Mei tahun 1998 lalu. Nasib mereka aman dari gangguan kekerasan. Setelah keadaan pulih, mereka kembali meninggalkan pulau ’pembauran’ itu.

Suasana yang ayem ini makin terasa saat kita melihat mereka ngobrol bersama di warung kopi di kota atau kampung-kampung. Seraya meneguk minum kopi panas mereka berbincang apa saja dalam bahasa Indonesia. Tak sekalipun kita mendengar ada warga Tionghoa yang menggunakan bahasanya di tempat terbuka. Ada saja yang mereka bahas. Bak anggota parlemen jalanan mereka berdiskusi soal politik, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Tak lagi ada sentimen ras di sana. Semua berbaur apa adanya.

Partai Gurem

Dukungan partai gurem tak selalu amblas dalam pertarungan Pemilu Kada. Buktinya Basuki bisa menang walau hanya diusung okeh partai anak bawang, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Namun karena figurnya yang dikenal sukses sebagai pengusaha dan pembauran sudah tak masalah, dia berhasil mengalahkan pasangannya yang diusung oleh Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Golongan Karya (PG) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sekarang kembali ke Sofyan atau siapapun warga etnis Tionghoa yang berniat akan maju dalam Pemilukada Medan tahun 2015. Apakah Abang, dan lainnya sudah mampu hidup dengan ikhlas berdampingan dengan masyarakat Medan seperti halnya di Bangka dan Belitung. Betul kalilah memang kalau ada beberapa tokoh etnis Tionghoa yang sudah berbaur dan juga berupaya mengembangkan pembaruan di kota ini. Salah satunya Abang, Vincent Wijaya, Indra Wahidin, Brilian Mochtar, dan lainnya. Sayangnya, apa yang Abang dan kawan-kawan buat, belum cukup kuat menancap di hati masyarakat, bahwa pembauran sudah (hampir) merata di daerah ini.

Pandangan masyarakat masih melihat bahwa warga Tionghoa di kota ini masih enggan menikahkan anaknya kepada warga di luar etnisnya. Begitu pula soal berbahasa. Ketika ngobrol di tempat terbuka seperti kafe, masih enggan berbahasa Indonesia. Ada yang bilang gaji pun dibeda-bedakan.

Tuduhan ini boleh jadi berlebihan. Tapi yang pasti, entah mau ikut Pemilukada apa tidak, rasanya indah kalau suatu saat aku menerima undangan pernikahan antara Ahok dan wanita boru Lubis, Jawa, Aceh dan sebagainya. Semakin asyik lagi kalau sahabatku si Acong pandai berpantun melayu saat ngopi di warung dekat Sungai Deli.  (*)

H Affan Bey Hutasuhut
Wartawan, Bekerja di Sumut Media Grup


YM

Kata kunci pencarian berita ini:

 
PLN Bottom Bar