Kepada pembaca, relasi dan pemasang iklan, Sumut Pos tidak terbit pada edisi 1-2 Januari 2011, sehubungan libur Tahun Baru 2011.
Kami akan hadir kembali pada Senin, 3 Januari 2011. Terimakasih Penerbit

Waspadai Anomali Musim

10:39, 15/07/2010

BULAN Juli ini mestinya kita sudah memasuki musim panas. Namun, di banyak tempat di Indonesia ternyata hujan masih turun. Bagi sebagian orang, perpanjangan musim “basah” itu adalah anugerah. Namun, sejatinya, fenomena tersebut justru patut kita waspadai. Sebab, anomali musim ini sangat berpotensi mengganggu. Salah satunya terhadap hasil produksi pangan.

Di beberapa tempat di Jawa, tidak terkecuali di pulau-pulau seperti di Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat, para petani mengeluh karena hasil panen mereka tidak optimal. Banyak bulir tanaman padi mereka yang kopong. Bahkan, tidak sedikit petani yang melapor gagal panen total karena sawahnya terendam banjir.

Masalah gagal panen bukan soal kecil. Sebab, itu menyangkut stok beras dan berbagai tanaman kebutuhan pokok lain. Itu berkaitan dengan ketahanan pangan nasional alias menyangkut hajat hidup yang penting. Karena itu, kita berharap perubahan iklim dan dampaknya pada pertanian tersebut mendapat perhatian semua kalangan. Pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi masalah tersebut sejak dini.

Bencana kelaparan di beberapa distrik di Kabupaten Yahukimo, Papua, yang merenggut korban jiwa, misalnya, sering berulang karena tidak ada peringatan dini seperti ini. Setelah ini tidak boleh lagi ada anak-anak bangsa yang meninggal karena gagal panen ubi jalar seperti yang terjadi di Yahukimo.

Dampak perubahan musim tersebut adalah persoalan global. Karena itu, upaya mengatasinya juga menjadi perhatian semua negara. Kita semua berpijak di bumi yang satu. Karena itu, ketika ada masalah di bumi yang sama, seluruh umat manusia ikut menanggungnya. Fenomena itulah yang mendorong lebih 110 kepala negara berkumpul di Kopenhagen, Denmark, beberapa waktu lalu.

Selain pemanasan global, ancaman kelaparan penduduk dunia makin serius karena krisis ekonomi global yang hingga kini belum berujung.

Setelah krisis Wall Street, dunia kini menghadapi dampak krisis ekonomi Eropa yang skalanya juga tidak kalah besar. Timbunan masalah itulah yang mengakibatkan harga pangan semakin melonjak akhir-akhir ini. Akibat Selanjutnya, ratusan juta orang di seluruh dunia terancam mengalami kelaparan.

Berbagai komitmen yang dicapai di forum internasional tidak berarti apa pun jika setiap negara tidak membuat langkah aksi yang nyata. Tidak terkecuali Indonesia. Harus diakui, di tengah perubahan iklim lantaran pemanasan global saat ini, kita menjadi salah satu negara yang sangat rentan. Kenaikan permukaan air laut sebagai dampak mencairnya es di Kutub Selatan (Antartika) mengancam keberadaan negeri kepulauan yang kita miliki.

Saat ini Indonesia juga masuk jajaran negara pembakar karbon terbesar. Kita masih menggunakan banyak pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara yang murah, tapi paling mencemari. Selain itu, kita masih minim dengan transportasi publik yang efisien dan ramah lingkungan.

Sebagai negara yang memiliki hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia, kita juga memiliki tanggung jawab jawab yang besar. Terutama menjaga kerusakan hutan dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, asal ada kemauan dan keseriusan, Indonesia bisa menjadi contoh yang baik bagi negara-engara lain. (*)


YM

 
PLN Bottom Bar