Mengecoh Saudagar Asing
10:27, 21/11/2010Peneliti PUSSIS Unimed Erond Damanik mengatakan, mengacu pada buku Daniel Perret, Batak bukan sebagai kelompok etnis, tapi kelompok kebudayaan. Ia antara lain menyebut semua yang disebut ‘Batak’ dewasa ini berbeda dengan ‘Batak’ pada tulisan pengelana-pengelana asing sejak abad ke-15 M.
Di Lambri (Banda Aceh sekarang), terdapat di pesisir pantai dan orang pegunungannya disebut Batak. Lide, (Merudu region sekarang) di pesisir pantai dan orang di pegunungannya disebut Batak.
Meulaboh, di Aceh Barat sekarang berada di pesisir pantai, orang pegunugannya disebut Batak. Orang Samudra (Pasai), (Lhokseumawe sekarang) berada di pesisir pantai, orang pegunungannya disebut Batak. Peurelak, (Aceh Timur sekarang) berada di pesisir pantai, orang pegunungannya disebut Batak. “Melayu” di Sumatera Timur berada di pesisir pantai, orang pegunungannya disebut Batak. Singkel yang terletak di pesisir pantai, orang pegunungnnya disebut Batak. Barus, berada di pesisir pantai, orang pegunungannya di sebut Batak. Di pedalaman Malaysia, juga terdapat penamaan orang Batak. Di pedalaman Mindanao, juga terdapat penamaan Batak.
Menurut Erond, penulis-penulis abad ke-14 hingga 19 masehi ini menyebut Batak bukan sebagai etnis, tapi kebudayaan. “Ini menjadi semakin menarik. Karena, justru yang disebut dengan Batak itu adalah merujuk kepada setiap orang yang ‘uncivilized’. Pada saat itu, nama Batak memang tak terdapat secara jelas, tapi beberapa istilah yang dicatat adalah seperti Batta; Batas, Bata, Batech dan lainnya. Semua istilah ini merujuk kepada pemaknaan: liar, kanibal dan belum beradab. Sama halnya dengan Melayu yang bukan merujuk pada kelompok etnis, tetapi kelompok kebudayaan.
Istilah Batak dan Melayu muncul pada abad ke-15 dan semakin intensif digunakan atau dikontruksi oleh orang luar (pengelana Barat) untuk memisahkan orang di pedalaman (yang belum beradab) yang disebut dengan Batak dengan orang di pesisir pantai (sudah beradab) yang disebut dengan Malay.
“Sejak abad ke-16, dua konsep ini semakin di pertegas terutama untuk memonopoli dagang di Selat Malaka dan pantai barat yang terkenal dengan ‘Al Kaffura’ (Champhor).
Pada abad ke-17, tulisan tentang kedua kelompok ini hilang dari peredaran dan muncul kembali sejak abad ke-18. “Pada abad ke-19, semakin mengemuka apalagi pada waktu kedatangan Anderson pada 1823, dan semakin dipertegas lagi pada saat Jacobus Nienhuys yang membuka perkebunan tembakau. Pada akhirnya, sejak era kemerdekaan nama itupun dicatat sebagai nama etnis yakni Batak yang terdiri dari lima sub etnis yakni Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak, dan Mandailing Angkola,” katanya.
Jadi, menurut Erond, Batak dan Melayu adalah dua konsep yang diciptakan dari luar terutama oleh penulis-penulis abad ke-14 hingga 15 Masehi. “Pada saat mengikuti konferensi di Berlin, saya membeli sebuah buku yang berjudul: From Distance Tales, yang di editori oleh Dominik Bonatz, Miksic, Tjoa Mailin: Cambridge. 2010. Seluruh penulis tersebut adalah Arkeolog kondang yang melakukan penelitian di Sumatera. Pada satu bahagian babnya, Anthony Reid menulis dengan judul: Is there Batak History?” katanya.
Dalam buku itu, Reid mempertanyakan siapa sebenarnya orang Batak? Khusus tulisan Miksic, mematahkan asumsi bahwa pedalaman (Batak) itu terisolir pada abad ke-13 hingga 15 masehi. Jadi tidak benar Batak terisolir, sebab temuan seperti mata uang, keramik China ditemukan di kuburan-kuburan tua di Samosir. Hal ini menjadi penanda alur perdagangan antara pesisir dan pedalaman terjalin dengan Erat. Sebenarnya, Tomme Pires pada 1515 telah menemukan adanya jalur perdagangan antara Pedir, Tebba (toba) dan Menancabo (Minangkabau). Hal lain adalah menerangkan semua komoditas pada abad-abad itu adalah terletak di pegunungan, maka satu cara untuk mencegah pedagang asing masuk ke pedalaman adalah membuat stigma yang jelek di pedalaman yang dilakukan oleh orang pesisir,” ujar Erond.
Ternyata cara ini sangat efektif, lanjutnya, alhasil, pedagang asing tak lagi masuk ke pedalaman dan hanya menunggu komoditas dengan makelar orang Pesisir. “Mulailah stigmatisasi berjalan dengan baik. Penulis barat kemudian mencatat orang ‘makelar pesisir’ sebagai Melayu dan orang pedalaman sebagai ‘Batak.’ Jadi, nama Batak memang dikontruksi dari luar,” jelas Erond. (saz)