Mungkinkah Aokigahara Ada di Medan?

10:12, 16/01/2011

Oleh: Ramadhan Batubara

Tempat itu bernama Aokigahara. Hanya sebuah hutan. Seharusnya tak istimewa seandainya saja hutan itu tidak merupakan tempat bagi orang untuk bunuh diri.

Begitu identiknya hutan itu dengan bunuh diri, hingga orang Jepang bilang, Aokigahara adalah ‘hutan bunuh diri’. Begitu tulis Apendi dalam cerpennya yang berjudul Aokigahara dan dipublikasikan oleh harian Kompas edisi 12 Desember 2010 lalu.

Saya tak berusaha mengupas cerpen Apendi secara dalam. Saya kutip cerpen itu pun bukan karena dasar suka atau tidak. Saya hanya tertarik dengan celetukan seorang kawan beberapa jam yang lalu. Ceritanya, kawan ini sedang menggilai dunia penulisan fiksi. Tidak untuk jadi sastrawan dan merelakan hidup di dunia seni, dia hanya ingin bisa merangkai cerita menjadi sesuatu yang hidup, yang mengispirasi, dan yang fantastis. Usut punya usut, dia terpesona dengan penulis yang merangkai kisah di negeri ini. Sekali lagi, bukan sastrawan, tapi seseorang yang ‘tak bisa disebutkan namanya’ (persis tokoh dalam Harry Potter kan?). “Gila gak? Kejadian di negeri kita ini fiksi kali! Masak, bisa-bisanya tersangka dilantik menjadi pejabat dan kemudian melantik pejabat lain di dalam penjara. Terus kisah si Gayus jayus itu, fiksi kali kan?” katanya kala itu. “Kalau kekgini ceritanya, apa lagi yang bisa ditulis sastrawan, kalah fiksi mereka dengan dunia nyata kan? Bah, aku jadi penulis kayak yang ‘tak bisa disebutkan namanya itu’ lah. Sudah tak musim jadi sastrawan,” sambungnya.

Nah, sejak itulah kawan tersebut mempelajari karya sastra. Menurutnya, yang ‘tak bisa disebutkan namanya’ pasti pemerhati karya sastra. Ada nuansa Putu Wijaya dalam kasus Gayus dan Kasiem. Sesuatu yang telah hilang dimunculkan kembali; Gayus yang ditahan bisa bebas berkeliaran dan Kasiyem yang dihukum bisa bebas dengan digantikan orang lain. Jadi semacam konsep reinkarnasi dalam karya Putu Wijaya. Lalu, kasus-kasus lain, termasuk dua kasus tadi cenderung menunjukkan sesuatu yang absurd, bahkan surealis. Nah, aliran tersebut kan masih tetap hidup dalam sebagian karya sastrawan di Indonesia.

Dari dasar itulah, soal Aokigahara tadi mengemuka. Selesai membaca cerpen Apendi itu dari sebuah koran bekas, kawan tadi langsung berceloteh. “Tampaknya Medan butuh Aokigahara, sudah makin banyak yang bunuh diri di kota kita ini,” katanya.

Makin banyak yang bunuh diri, itu kata kuncinya. Saya langsung teringat Sentosa Kaban (60) warga Jalan Jamin Ginting Pasar VII Kel, Beringin Padang Bulan Medan yang tewas karena gantung diri di kamarnya pada Jumat (7/1) lalu akibat frustasi karena penyakit tidak kunjung sembuh. Lalu, Manogrem (38) warga Jalan Teratai, kawasan Karang Rejo, Medan Polonia Medan, nekat bunuh diri akibat frustasi karena malu akibat kepergok mencabuli anak kandungnya, pada Sabtu (8/1) lalu. Disusul Zulkifli (37) warga Jalan Gaperta 8 Gang Solo Lingkungan 5 Kecamatan Helvetia Tengah, tewas  akibat persoalan ekonomi pada Senin (10/1) lalu. Peristiwa itu disusul kematian Edi Syaputra (63) Warga Jalan Slamet Kecamatan Medan Amplas yang diduga putus asa karena penyakit yang dideritanya tak sembuh-sembuh, Selasa (11/1) lalu.

Bayangkan, belum sampai sebulan tahun 2011 dijalani, telah ada empat orang bunuh diri di Medan. Kalau secara matematika, setahun bisa berjumlah berapa? Sudahlah, saya tak mau menjadikan bunuh diri menjadi kasus matematis.

Saya coba bandingkan dengan budaya ‘harakiri’ di Jepang. Bunuh diri bagi orang Jepang adalah sebuah kebanggaan. Ingat, kebanggaan bukan berarti tujuan, tapi kehormatan. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa martabatnya menurun akibat melakukan sesuatu yang salah, maka dia akan membunuh dirinya sendiri agar martabat itu tak tambah jatuh. Lebih sederhana, bunuh diri dilakukan orang Jepang untuk sesuatu yang suci, bukan pelarian atau kepusasaan. Akan sangat terhina jika seseorang tak bunuh diri sementara dia tertangkap korupsi atau membuat skandal lainnya.

Nah, kasus bunuh diri yang dilakukan di Aokigahara tentunya sangat berbeda dengan yang di Medan. Perhatikanlah latar belakang empat kasus tadi. Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Agung Laksono di Jakarta, pernah mengatakan bunuh diri terjadi karena ada gangguan jiwa akut. Ganguan ini bisa disebabkan oleh lemahnya daya tahan setiap individu mengatasi problem kehidupan.

Sudahlah, akhirnya saya mencoba untuk mendukung pikiran kawan saya tadi soal Aokigahara di Medan. Bukan karena kasihan karena dia sudah semakin masuk ke dalam dunia seperti yang ‘tak bisa disebutkan namanya’ ciptakan, tapi lebih pada idenya soal pemetaan kota. Persis dengan yang dilakukan Ali Sadikin ketika menjabat gubernur Jakarta tempo dulu. Nah, Medan sebagai kota besar seharusnya memiliki tata kota yang akurat; ada daerah hijau, daerah bisnis, daerah perumahan, dari sekolah dan kampus, daerah budaya dan seni, dan sebagainya. Jika tercipta semacam itu, maka banjir tak lagi menjadi momok.

Ah, Jepang memang menang selangkah dari kita, bayangkan untuk bunuh diri saja mereka telah memiliki kawasannya yang bernama Aokigahara tadi. Bukankah begitu? (*)

15 Januari 2011


YM

 
PLN Bottom Bar