Percayalah, Ini Bukan Soal Sepak Bola

10:22, 26/12/2010

Oleh: Ramadhan Batubara

Sumpah, saat ini saya tak mau menulis soal sepak bola Indonesia. Saya tak mau latah seperti mereka yang tiba-tiba heboh tak tentu arah. Saya adalah orang yang kuat, malah teramat kuat untuk tidak menuliskan kata
‘sepak bola’. Ingat, ini bukan soal sepak bola.

Terus terang saja, saya kecewa dengan kisah, berita, maupun segala hal yang berhubungan dengan sepak bola. Kata seorang kawan, olahraga itu malah menjijikkan. Bayangkan saja, satu bola kok diperebutkan orang banyak. Tidak hanya diperebutkan, sebagian orang malah mendewakan bola. Hingga, ada pula sebuah klub di Spanyol yang bernama Barcelona sampai memiliki kalimat ‘Barcelona tak sekadar klub’. Hm, renungkan kalimat itu, jika tak sekadar klub, berarti apa? Jawab kawan saya yang penggila Barcelona, klub itu sudah menjelma sebagai agama. Tidak hanya agama, tambahnya pula, sudah bagai negara. Bagaimana tidak, gara-gara laga Barcelona melawan Real Madrid beberapa waktu lalu, Pemilu di sana malah nyaris tidak ada yang mengikuti jika jadwal pertandingan tersebut tidak diundurkan sehari. Fiuh.

Pikir punya pikir, tidak hanya di belahan bumi sana saja, di Medan, ketika PSMS bermain, kejadian yang sama pun bisa saja terjadi. Sampai saat ini saya sedikit bingung, kenapa begitu gampang mengumpulkan 20.000 orang di Stadion Teladan. Ayolah, mereka tidak dibayar kan untuk hadir di sana, mereka malah bayar. Bahkan, ketika harga tiket termurah sebesar Rp20.000 pun mereka tidak peduli. Belum lagi laga digelar malam hari, bukankah itu saatnya seseorang untuk bersama keluarganya atau beristirahat? Ah, keadaan ini semakin membuat saya tak mau menulis sepak bola.
Tapi, ternyata, semakin saya menolak untuk menulis sepak bola, saya malah semakin tersiksa. Begini, lantun kali ini sejatinya ingin mengurai sedikit soal Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ya, Sumatera Utara baru saja mengumumkan hasil ujian CPNS tadi. Ada teriak lantang dan suka cita mengemuka bagi mereka yang lulus. Masa depan mereka pun terbuka. Dengan lulus sebagai PNS, bukankah mereka sudah mengapling kebahagiaan di hari tua? Ha ha ha, ini dia yang sejatinya lebih menarik dari sepak bola.

Kenapa saya begitu yakin soal pikiran di atas? Jawabnya begini, untuk menjadi PNS itu ternyata lebih sulit daripada menjadi pesepakbola. Pasalnya, seleksi CPNS itu begitu banyak mengaitkan sesuatu yang berkait. Kalau soal sepak bola, Anda tinggal memiliki kemampuan bermain bola dan fisik yang mumpuni. Kemudian, ujian nyatanya hanya di lapangan. Kalau Anda andal, maka sudah pasti Anda akan hebat. Nah, hal semacam ini tidak ada di CPNS.
Ayolah, yakinkah Anda kalau akan lulus jadi CPNS walau telah menjawab soal ujian dengan benar semuanya? Ayo siapa yang bisa menjawab! Sumpah, saya tidak bisa yakin dengan itu.

Kasus terbaru, yang menghentak kaum pencari masa depan melalui kerja di pemerintahan adalah kata lulus pun ternyata bisa berarti tidak lulus. Kalau dianalogikan dalam sepak bola, sebuah gol itu belum berarti gol. Apakah dia terkena offsides hingga golnya dianulir? Kabar punya kabar, katanya, yang sudah melihat nama dan nomornya lulus lalu dikatakan tak lulus itu memang karena terkena offsides. Bak sepak bola, katanya, posisi sang peserta ujian berada di garis tak sejajar dengan pemain paling belakang dari tim lawan. Dia berada di posisi itu sebelum bola diumpankan kawan. Ha ha ha, padahal, peserta ujian itu sudah melakukan selebarasi gol. Eh, tiba-tiba wasit meniupkan peluit tanda offsides. Sial kan?

Ya, sial. Bayangkan saja sang peserta ujian itu melihat pengumuman pukul satu malam di situs resmi pemerintahan dan mendapati dirinya lulus. Dia pun bergembira dengan mentraktir rekan-rekannya, malam itu juga. Nah, setelah selasai makan sekitar pukul empat subuh, dia kembali mengecek namanya di situs resmi tersebut. Bak ada petir tanpa hujan, dia terbakar. Tak ada lagi kata lulus di namanya.  Apa lacur, terpaksalah dia protes. Tapi, wasit memang memiliki hak kuat untuk hal itu. Meski bisa diprotes, wasit sama sekali tak bisa disentuh. Pasalnya, ketika disentuh, seorang pesepakbola akan kena kartu hukuman, tidak hanya kartu kuning, kartu merah bisa langsung dilayangkan.
Sekali lagi, ini bukan soal sepak bola Indonesia, ini hanya soal CPNS. Soal kasus di atas memang telah ada pernyataan resmi dari pemerintah setempat. Kata mereka, situs tersebut memang bermasalah. Jadi, bagi mereka yang mengecek kelulusan di situs itu pada pukul satu malam, maka semuanya akan dinyatakan lulus. Jadi, data terakhirlah yang benar. Dengan kata lain, data pukul empatlah yang dianggap benar. Wah, repot juga ya.

Begitulah,  kenapa saya katakan soal CPNS ternyata lebih sulit dari sepak bola. Tidak hanya terkait kasus di atas, untuk jadi PNS selain membutuhkan kemampuan intelektual yang tinggi, dibutuhkan juga keberuntungan, dan tentunya ‘ladang’ yang luas. Ayolah, bukan sesuatu yang tabu lagi bagi seorang bapak untuk menjual ladang warisan agar anaknya bisa menjadi PNS bukan? Memang, hingga kini belum ada data pasti terkait hal itu. Namun, rahasia tersebut bukan lagi rahasia. Budaya uang pelicin memang sudah bukan barang baru di Nusantara ini. Upeti mungkin bisa kita katakan sebagai embrio dari kebiasaaan tersebut. Bukan hanya upeti, ‘sorongan’ yang diberikan penjajah bagi penguasa lokal pun telah lama hidup. Jadi, bukan sesuatu yang aneh, jika penguasa sekarang mengharapkan upeti dan ‘sorongan’ dari CPNS ini. Sekali lagi, memang belum ada bukti kuat yang bisa menjerat seseorang terkait hal di atas. Tapi tidak seperti sepak bola, dalam dunia CPNS soal offsides dan pelanggaran lainnya memang tak jelas aturannya. Selain itu, kalau di sepak bola, semua orang bisa melihat proses gol dan permainan tim yang bertanding. Di CPNS, hasil ujian kan yang tahu hanya mereka-meraka saja. Jadi, transparansi hasil jawaban terasa gelap. Kenapa tak diumumkan saja hasil ujian tersebut. Dan, seharusnya tak repot, pasalnya ribuan lembar jawaban tersebut kan dinilai. Jadi, tinggal pendataannya saja yang dibenahi. Jadi, ketika ada peserta yang tak puas, dia bisa dipuaskan dengan hasil ujiannya yang telah dinilai tersebut. Tunjukkan lembar ujiannya yang banyak salah itu, jangan katakan situsnya yang rusak.

Masih repot juga? Ya, sudah, kembalikan lembar ujian itu ke alamat peserta masing-masing beserta status lulus atau tidak lulusnya. Kalau tidak mau rugi, kan tinggal masukan biaya perangko kepada peserta saat dia mendaftar.
Akhirnya, ini bukan soal sepak bola Indonesia, ini hanya soal CPNS. Jadi, tak perlulah kita berlebihan dengan mengajak Timnas Indonesia mengunjungi pesantren untuk didoakan agar bisa menang di Malaysia. Bukankah, jumpa fans tersebut terlalu cepat? Dan, bukankah lebih baik mereka berlatih atau istirahat agar saat main di Stadion Bukit Jalil nanti bisa fit? Ah….(*)


YM

Comments (1)

  1. Vidya says:

    hm…
    Jumpa fans itu back-up kalau mereka kalah
    minimal bisa jadi artis dadakan seperti bintang iklan
    dan sudah terbukti; mereka jadi bintang iklan.
    kalah menang seng penting sugih bro ..
    Salam buat muram batu

 
PLN Bottom Bar