Nama Batak Memang Kabur
10:23, 21/11/2010Batak bukan dari Batak, tapi dikonstruksi para musafir Barat dan dikukuhkan misionaris Jerman . Kata Batak diambil para musafir dari penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.
Demikian Sejarahwan Unimed Phill Ichwan Azhari. Sejumlah referensi memang sangat minim menjelaskan makna Batak secara etimologi (asal-usul kata) dan genealogis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada dua lema tentang ’Batak’. Pertama, Batak berarti petualang, pengembara. Pembatak malah diberi arti perampok dan penyamun. Lema kedua, Batak disebut sebagai suku bangsa di Sumatera Utara.
Eron Damanik mengatakan, nama Batak memang tidak terdapat secara jelas, tetapi beberapa istilah yang dicatat adalah seperti Batta; Batas, Bata, Batech, dll. Semua istilah ini merujuk kepada pemaknaan: Liar, Kanibal dan belum beradab.
Sama halnya dengan Melayu yang bukan merujuk pada kelompok etnis, tetapi kelompok kebudayaan, yakni mereka yang berada di pesisir pantai. Nicolo menyebut ‘Batech’ pada waktu menjelaskan orang Pedalaman (Inland) Lambri dan Pasai, dimana mereka ini hidup liar dan uncivilized.
Justru, orang yang pertama menulis term ‘Bata’ yang dekat dengan term ‘batak’ dewasa ini adalah Pinto. Pinto pada saat itu Ia ada di Malaka, hingga tahun 1539 pada waktu serangan Aceh (Lambri) dizaman Al Qahar-II ke Aru Delitua.
Menurut Perret, kedua istilah: Batak dan Melyu muncul pada abad ke-15, dan semakin intensif digunakan atau dikontruksi oleh orang luar (pengelana Barat) untuk memisahkan orang di pedalaman (yang belum beradab) yang disebut dengan Batak dengan orang di pesisir pantai (sudah beradab) yang disebut dengan Malay. Pada abad ke-17, tulisan tentang kedua kelompok ini hilang dari peredaran dan muncul kembali sejak abad ke-18. Pada abad ke-19, semakin mengemuka apalagi pada waktu kedatangan Anderson pada tahun 1823, dan semakin dipertegas lagi pada saat Jacobus Nienhuys yang membuka perkebunan tembakau.
Pada akhirnya, sejak era kemerdekaan nama itupun dicatat sebagai nama etnis yakni Batak yang terdiri dari lima sub etnis yakni Toba, karo, Simalungun, Pak-pak, dan Mandailing Angkola. Jadi, sesungguhnya Konsep Batak dan Melayu adalah dua konsep yang diciptakan dari luar terutama oleh penulis-penulis abad ke-14-15M.
Sementara menurut Thompson Hs, kata ‘Batak’ memang tidak disinggung langsung dalam pustaka-pustaka khususnya Toba, tapi ada istilah ‘bataha’ yang bisa berasosiasi menjadi Batak. Istilah Batak sudah muncul melalui catatan-catatan sebelum kedatangan misionaris ke tanah Batak. Secara etimologis “batak” masih perlu diusut pengertiannya. Jadi tidak cukup dari arti kamus seperti yang dilakukan di KUBI atau KBBI.
“Baru-baru ini saya melihat sebuah dokumen hasil penelitian DNA seorang Toba dan Karo yang menyimpulkan asal-usul DNA berasal dari kelompok Afrika (Kenya). Batak sebagai genealogis dapat menjelaskan pengertian dan asal-usul aslinya. Tapi batak secara kultur sudah dikonstruksi oleh sejarah, seperti sejarah Melayu, Jawa, Bugis, dan lain-lain. “Kapak membela kayu, batak menjadi melayu” itu adalah sejarah. Jadi Ichwan Azhari bisa juga mengusut genealogis dan kulturnya di balik upaya penelitian ilmiah. karena kepentingan ilmiah juga tidak selalu netral,” ujar Thompson.
Memang perkembangan kebiasaan Batak menyatakan diri sebagai Batak lebih aktif dilakukan oleh orang Toba, meskipun mereka sudah menerima anutan agama di luar praktik agama kuno. Disadari atau tidak, Toba menjadi dominan sebagai Batak melalui penggunaan bahasa dan tindak sub-kulturnya, sehingga masalah internal kebatakan tidak jarang menuduh orang toba “tukang monopoli” kebatakan itu.
Menurut Thompson, istilah Batak dengan variasi ucapannya sudah muncul melalui catatan-catatan pra misionaris dan kolonial. Bahkan sebelum kolonial belum menyentuh Batak, istilah itu sudah disinggung Raffles dan William Marsden dalam bukunya. Catatan dalam naskah Cina pra kolonialisme juga sudah menyingung istilah Batak itu. Mungkin rumusan atau konstruksi yang dilakukan misionaris dan kolonial pada masa perkebunan di Deli hanya semacam penguatan, seperti analogi nama Indonesia, yang sesungguhnya dilakukan oleh seorang Jerman.
“Kita tunggu maksud konteks penelitian Ichwan Azhari, apakah mau membeberkan batak secara genealogis atau politik baru dikotomi Melayu dan Batak. Itu bagus agar orang-orang yang merasa Batak dapat melihat dirinya kembali dalam nuansa post-kolonialisme. Mungkin saja Ichwan Azhari melakukan hal itu untuk menemukan identitasnya di balik metode dan gengsi ilmiah, apakah dia Melayu atau campuran bukan Melayu. hehehe..” ujar Thompson mengakhiri. (Panda MT Siallagan/saz)