Sulit Mengeja Keselarasan dan Kesetaraan
10:21, 31/10/2010Lantun oleh : Ramadhan Batubara
Akhirnya tibalah kita di Pulau Mentawai. Kawasan yang menuhankan kesetaraan dan keselarasan manusia dengan alam itu malah hancur oleh alam. Apa sebab? Apakah alam sudah tak mau bersahabat lagi dengan mereka?
Sebelum kita berbincang lebih jauh, perhatikanlah sebuah cerita pendek berjudul The Hill People karya Muram Batu. Cerpen yang dipublikasikan The Jakarta Post, Agustus 2005 lalu itu menggambarkan kehidupan orang Mentawai; bagaimana orang Mentawai memandang alam sebagai sesuatu yang wajib dijaga. Perhatikanlah.
“Everything up there is in harmony. Man and nature, a relationship conserved. Men use nature at need, not at will, with sacred rituals. Ceremonies to start. Ceremonies to respect the animals on a hunt, as though asking permission to hunt them. They believe animals have souls, and souls deserve respect. The same goes for working in the forest — at need, not at will. They believe nature is guarded by bajou. They will not risk angering the bajou by arbitrarily harnessing nature. Their utmost faith is in the kina ulau, their god who teaches equality and harmony between nature and men,” said Sipatitik.
Hm, dari petikan cerita tersebut, saya melihat Mentawai memiliki kearifan lokal yang agung. Mereka tidak sembarangan berburu, mereka pun tak sembarang menebang pohon atau merusak hutan, dan semua itu dilakukan agar alam dan manusia selaras. Jika tahap selaras tercapai, maka musibah yang mereka hindari tak akan terjadi. Fiuh.
Kenyataan beberapa hari ke belakang tiba-tiba menyadarkan saya, apa yang terjadi di Mentawai sana. Benarkah proyek ‘berasnisasi’, ‘bajunisasi’, ‘bebeknisasi’ dan ‘nisasi’ lainnya telah menghilangkan ajaran kina ulau (‘Anda Yang Terang’, Tuhan atau kepercayaan orang Mentawai; roh yang terdapat di mana-mana)? Sudahkah bajou (kekuatan yang tidak tentu yang tinggal di semua benda, terutama di dalam jimat, dan benda-benda suci lainnya dan roh-roh) sudah tak dipandang?
Dalam cerpen The Hill People yang versi Bahasa Indonesianya berjudul Anaileoita tersebut memang digambarkan bagaimana sang tokoh begitu merindukan Mentawai seperti sedia kala. Ya, masa keindahan Mentawai jauh dari pengaruh luar. Saat itu, manusia-manusia Mentawai berbaju tatto, memakan keladi, beternak babi, dan berburu di saat perlu. Hal itu sudah mulai luntur. Sipatitik, sang pembuat tatto pun sudah mulai kehilangan pekerjaan. Mulai kurang pesta, hati mereka mulai kosong. Sementara, yang katanya ‘pembangunan’ membuat alam mereka hancur; hutan tempat nenek moyang bersemayam semakin habis.
Hm, mungkinkah ini penyebab gempa dan tsunami beberapa hari terakhir? Aa, terlalu cepat menyimpulkan, bukankah gempa tidak muncul karena hutan menipis? Idealnya, gempa tercipta karena ada gerakan di bawah tanah sana. Namun, bukan tidak mungkin hal itu terjadi. Maksudnya, ketika warga Mentawai sudah tak lagi menjaga keselarasan dan kesetaraan manusia dengan alam, maka alam marah? Entahlah.Saya jadi teringat sebuah pembangunan di Kota Medan. Sebuah komplek bisnis dibangun di bekas lapangan golf yang ada di seputaran Bandara Polonia. Ya, apalagi kalau bukan Central Business District (CBD) Polonia Medan. Terus terang, saya tertarik dengan hingar-bingar berita tentang hal itu. Bagaimana tidak, kabarnya, proyek tersebut cinta lingkungan.Karena itu, beberapa hari yang lalu mereka membuat acara penanaman pohon.
Tidak tanggung-tanggung, untuk membuktikan keseriusan mereka, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Suharso Manoarfa, pun didaulat untuk menanam pohon di kawasan proyek tersebut.Pak Menteri pun mendukung proyek yang cinta lingkungan tersebut. “Yang penting konsisten, jangan awalnya saja bagus. Banyak pengembang yang tak setia dengan rencana awal,” kata Pak Menteri dalam sambutannya.
Nah, maksud saya mengutip kejadian di atas bukan tanpa alasan. Saya bayangkan pohon yang ditanam Pak Menteri tersebut, mungkinkah dia bisa tumbuh? Lalu, membesar dan menjadi pelindung bagi karyawan dan warga CBD yang kepanasan di kemudian hari? Atau, dia malah dianggap sebagai pengganggu hingga ditebang untuk pelebaran jalan? Ah, membayangkan hal itu, tergambar dalam otak saya Mentawai lagi. Saya merasa ada kemiripan untuk dua kejadian di atas. Semuanya bermuara pada alam. ‘Pembangunan’ di Mentawai tanpa memperhatikan kearifan lokal dengan serius telah menunjukkan risikonya. Bagaimana dengan CBD yang didukung Pak Menteri itu? Hm, tanyakan pada rumput yang bergoyang, kata Ebiet G Ade.
Baiklah, lantun kali ini akan saya akhiri dengan kalimat lain dari cerpen karya Muram Batu tadi. Kali ini menurut versi Bahasa Indonesianya. Perhatikanlah karena akan didapati sebuah kesedihan dari sebuah perubahan yang tak direncanakan dengan matang. Ya, Mentawai.”Perlahan kucapai song, kulewati dan kumasuki perkampungan itu. Lama juga, aku belum menemukan satu uma pun. Aku semakin jauh masuk ke dalam. Dan, sebuah uma terlihat. Segera kuberlari menggapainya. Namun, mengapa tak ada babi di lantai dasarnya? Yang kutemukan hanya sisa-sisa, sepertinya uma ini telah lama ditinggalkan, tak ada tanda kehidupan. Berulang kali mengelilingi yang kutemukan hanya sebuah kata di dinding uma: Anaileoita. (*)