Lembayung
10:24, 31/10/2010Cerpen: Ayu Lestari
Namaku Lembayung. Mbah bilang, karna aku lahir di penghujung senja, di saat para leak terlepas dari sarangnya. Aku tidak percaya. Menurutku, Mbah hanya manula yang terobsesi pada segala jenis hantu, memedi dan leak. Untuk hal satu ini aku yakin sekali. Saat masih bocah, aku sering main di surau hingga adzan maghrib berkumandang.
Suatu sore yang naas, aku terpeleset air yang menggenang di lantai surau dan terjatuh. Berbulan-bulan
ayah dan ibu mengobati kelumpuhanku karna terjatuh itu, tapi tak kunjung membaik.
Saat orang tuaku putus asa, nenek menyarankan membawaku pada seorang dukun yang masih punya ikatan saudara dengan kami. Ibu agaknya enggan, namun karna tak ingin membuat nenek tersinggung, beliau akhirnya memboyongku ke tempat praktek dukun tersebut. Karna saat itu aku masih kecil, aku tidak ingat pasti bagaimana kejadiannya. Yang jelas, kaki kananku dapat kembali digerakkan dan sejak saat itu aku mampu berjalan.
***
“Yung, anak perawan tidak baik pulang malam. Pamali.” Ibu menatap lekat ke bola mataku, saat itu pukul sebelas lewat. “Ibu juga agak risih dengan teman-teman lelaki yang sering kamu bawa ke rumah, ibu lelah jadi omongan tetangga.”
“Saya sudah sembilan belas tahun, Bu, dan saya bisa membedakan benar dan salah.”
“Ibu tau itu, tapi tetap saja kamu perempuan,” wanita paruh baya itu menerawang, menatap tutup ceret jerangan air yang mulai bergetar karna uap airnya berdesakan ingin keluar. “Oh, ya. Nenek mencarimu dari sore tadi, tapi mungkin sudah tidur.”Aku yang tadinya sudah akan masuk ke kamar mandi, berbalik. Melangkahkan kaki menuju kamar nenek yang terletak di samping gudang. Jujur saja, aku tak pernah suka berlama-lama di kamar nenek. Udaranya lembab, gelap dan selalu menguarkan aroma balsam yang menusuk hidung.
Nenek tak pernah membiarkan seorangpun mengusik kamarnya. Tak hanya memindahkan barang-barang, bahkan memasang lampu pun tak dia izinkan. Pernah aku didiamkan oleh nenek selama satu minggu, hanya karna membuka jendela dan pintu agar udara dapat bersirkulasi dengan baik. Nenek mengamuk dan merajuk. Wanita tua dengan rambut telah putih sempurna itupun berikrar untuk melarangku memasuki kamarnya. Tapi itu sudah lama sekali.
Pintu berderak saat kutarik, aroma balsam yang pekat menghambur desak-mendesak memasuki lubang hidungku. Udara terasa lembab, hanya cahaya semprong yang kemerahan menerangi wajah nenek yang terbaring di dipannya.
Wajah keriput itu terlihat sangat damai. Sedamai saat aku masih sering berpangku di pahanya. Mendengar celotehnya tentang ibuku yang lain. Nenek tak pernah jemu berkisah, bahwa ibuku yang sebenarnya adalah makhluk demit dengan rambut yang sangat panjang. Wajahnya sepucat perak dengan senyum serupa lengkung arit kepunyaan bapak. Demit itu amat suka menembang, syair-syair pesisir yang tak jarang meremangkan tengkuk nelayan.
Tapi makhluk itu tak mampu melahirkan, jadi dititipkannya benihnya ke rahim ibuku yang sekarang. Kata nenek, saat itu hujan deras mengguyur kampung –Ntah mengapa, nenek selalu suka menyeram-nyeramkan ceritanya– Nenek dan ibu berkepit di kamar depan sambil sesekali melafal doa yang mereka ingat. Mereka, berdua di rumah, karna bapak lembur di pabrik bata yang mengupahnya lima ratus ribu sebulan.
Saat itu tengah malam, meski nenek tak pernah menjawab jika kutanya jam berapa kejadiannya. Hujan deras itu tiba-tiba henti, bahkan angin pun diam. Sayup terdengar lantun itu dari kejauhan. Yang disambut teriakan ibu karena merasa perutnya panas serasa terbakar.
Wanita muda itu melingkar di atas ranjang sambil memekik dan memegangi perutnya. Berguling-guling dan menghentak-hentakkan kaki. Dari kulitnya mengalir bulir-bulir keringat yang sebentar saja langsung membasahi bajunya. Nenek selalu terlihat sangat antusias sekali menceritakan kisah itu padaku.
Selepas ibu menjerit-jerit, hujan kembali turun bersama angin yang kembali berhembus kencang, namun lantun pesisir itu tak lagi terdengar. Besoknya ibu muntah-muntah dan sebulan kemudian, Mereka –Ibu dan Bapak– menemukanku di perut ibu.
Sampai saat ini nenek masih suka memandangku dengan kagum, bahkan takjub. Seolah aku jejadian yang berhasil diangkatnya mejadi salah satu anggota keluarga. Dan itu perlahan membuatku jengah dan melunturkan cintaku padanya.Meski melihatnya terlelap membuatku senang, tenang.
Kusingkap selimut batik yang menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan aku berbaring di sampingnya. Sebelum memejamkan mata, masih sempat kupandangi wajah nenek yang damai. Lipatan-lipatan kulit di wajahnya mengingatkanku pada kulit jeruk yang kisut. Sedangkan rambut peraknya tampak bercahaya tertimpa cahaya semprong yang berpendar kemerahan. “Selamat tidur, Nek,” bisikku
***
Pagi tadi, aku terbangun oleh jeritan ibu. Suaranya membawaku menuju kamar nenek. Ibu terlihat tertelungkup di atas dada wanita tua itu, sesenggukan sambil sesekali menghapus air matanya yang merinai. Tetangga berdatangan, beberapa orang menenangkan ibu sedang yang lainnya berdiri diambang kamar nenek.
Aku memutuskan untuk mengambil tugas ibu yang sepertinya tak lagi sanggup dilakukannya. Berdiskusi sebentar dengan tetua kampung dan nazir masjid mengenai tatacara pemakaman dan ini itu lainnya yang harus dipersiapkan.
Oleh para tetangga, nenek dibaringkan di ruang tengah kami yang tak seberapa lebar. Dari balik kain putih tipis yang menutupi wajahnya, nenek masih tampak cantik meski kerut-kerut di sekeliling mulitnya tetap menyiratkan kecerewetannya semasa hidup. Kuhampiri dia yang terlelap, kusingkap kain yang menutupi wajahnya. Ada pendar-pendar cahaya yang membuatku ingin mendekapnya, mencium mata dan keningnya. Jari-jari kurusku bergerak menyentuhnya, mulai dari puncak kepala hingga lipatan-lipatan leher yang membawaku pada sepasang tanda membiru di kedua pangkal lehernya. Sepasang tanda, berupa lengkung kuku, seolah sepasang tangan pernah melingkarkan jari-jarinya di leher nenekku.
Serta merta amarah membuncah di ubun-ubun. Aku yakin bahwa nenek bukan mati karna uzur, melainkan seseorang memaksanya untuk meninggalkanku dan ibu. Ya, ibu. Tiba-tiba kecurigaanku mengarah pada ibu. Bukan tidak mungkin wanita itu membunuh nenek. Bisa saja dia muak dengan kekonyolan nenek yang selalu berhalusinasi bahwa aku adalah anak demit. Mungkin juga karna nenek selalu rewel dan cerewet terhadap masakan ibu yang tidak sesuai dengan seleranya. Atau karna ibu sayang padaku. Bukankah belakangan ini nenek selalu memarahiku, mengingatkanku tentang kodratku sebagai perempuan?
***
Di sudut kamar nenek aku terdiam.
lantun-lantun yasin menggema di sudut-sudut rumah. Ibu masih menangis di kamarnya, sedang nenek sudah lelap dalam kuburnya yang masih beraroma kamboja. Dan aku tetap berdebar, mencoba menjadi pahlawan yang berusaha menemukan pembunuh nenek. Tidak ada hal lain yang lebih menarik minatku, selain mengacak kamar nenek dan menemukan bukti-bukti kesalahan ibu, meski dia tidak mengaku.
Lantun-lantun yasin itu kembali menyelusup, tepat di saat jemariku menyentuh selimut batik nenek. Masih ada aroma tubuh wanita tua itu, yang perlahan kuhirup dalam-dalam. Seolah nenek masih terbaring di dipannya. Memandangku dengan mata tuanya yang menyimpan marah dan duka. Membisikiku tentang kenyataan bahwa aku perempuan.
Mengingatkan bahwa tak ada jakun di leherku. Mengomel panjang dan melarangku mengingat-ingat dongeng yang dulu sering diceritakannya sebagai pengantar tidurku.Wanita tua dengan kulit jeruk purut itu terus menerus memaksaku percaya bahwa aku hanya punya satu ibu.
Dan saat lantun-lantun yasin di ruang tamu kembali bergema, tepat di bait-bait akhir yang membuat sepasang mataku basah. Saat itu aku hancur, saat nenek merefleksikan wajah perempuanku pada sebuah cermin. Dan aku melihat tanganku sendiri melingkar di leher nenek.
(SM. Raja, 23 Oktober 2010)
Ayu Lestari, mahasiswa Universitas Negeri Medan. Aktif di unit kegiatan pers mahasiswa kreatif Universitas Negeri Medan.