Adat Na Gok

10:06, 17/10/2010

Cerpen : Yanti Mandasari Sipayung

Aku mengambil tempat di pojok ruangan. Duduk dengan kaki selonjor kumaknai wajah saudara-saudaraku satu persatu. Kak Ros didampingi suaminya, Kak Yus dan Yans adikku, jelas menyimpan kepayahan di hatinya. Aku bisa membacanya diantara wajah letih mereka. Mereka memang baru tiba dari Medan. Dua jam dalam perjalanan mereka lalui dengan motor.

Kak Ros berangkat tentu saja dengan suaminya Bang Rahmat, sedang Yans memberikan tumpangan untuk Kak Yus. Sementara Kak Ida, tidak bisa datang karena pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang cuci tidak bisa ia tinggalkan.
Bang Sani keluar dari kamar dengan sarung khasnya. Lalu kulihat Abas diikuti istrinya turut memeriahkan konferensi ini. Hmmmh… Ku coba mengatur nafas yang mulai berantakan, menghalau prasangka dan firasat yang tidak enak. Tak biasanya aku ada dalam rapat keluarga besarku seperti ini. Aku senantiasa cuek dengan masalah yang timbul dan perkara yang akan diputuskan. Aku tak ingin dibuat capek apalagi pusing. Namun kali ini aku harus duduk terpasung mencermati semua hal yang akan dibicarakan demi terlaksananya perhelatan, dimana aku akan menjadi bintang utamanya.

Mamak duduk kepayahan di kursi rotan. Rintihan raut mukanya membiratkan beban berat yang sangat. Guratan-guratan di wajahnya semakin dalam ketika keluhan keluar dari sepasang bibirnya yang mengering.
“Mamak jangan banyak kali lah mengeluh. Ayah itu jalannya nggak bagus kalo mamak terus nangis gini,” Yans berkata pelan sembari memijiti kaki mamak. “Yang udah pigi biarlah pigi, Mak.” Yans berusaha menghibur. Mamak hanya mengangguk-angguk sedikit menghargai secuil nasihat dari borunya sementara sudut hatinya berkata “tentu saja kau bisa bilang begitu, kau tidak merasakan apa yang kurasakan. Melepas kepergian teman hidup yang telah menyertai hingga 40 tahunan, bukan perkara gampang.”

Di ruangan itu kami telah berkumpul. Menunggu Kak Ira, istri Bang Sani yang belum selesai dari mandinya, para saudaraku saling melontarkan canda tawa. Mereka teringat Bang Asep. Ya, saudaraku yang satu itu, sudah paling beda wajahnya, tak berpunya alias miskin, tukang kawin pula. Sudah lama ia tak memberi kabar kepada kami perihal keberadaannya kini. Coba kalau dia ada diantara kami saat ini, pasti dia akan sangat bermurah hati membantuku. Paling tidak dia akan berusaha menyaingi bantuan dari Bang Sani. Dua atau tiga juta mungkin.

“Kalian dukunglah si Didin biar jadi sama borukku itu. Empat laki-laki masak tidak ada yang jadi sama pariban.” Namboru menggosok tembakau di gigi-giginya yang merah. “Pasti mamak kalian senang kali kalau ada parmaennya yang boru Purba.” Namboru terlihat serius menggurui keponakan-keponakannya.

Tiga hari sebelum Ayah memaksa untuk segera dibawa pulang ke rumah, Namboru dan saudara-saudaraku yang hari itu menjenguk Ayah di rumah sakit membicarakan berita asmaraku. Sesekali mereka tertawa. Menertawakanku tentunya. Satu-satunya saudara mereka yang belum menikah. Sudah setua ini. Padahal aku bukanlah anak bungsu, aku punya dua adik, tapi mereka sudah menikah. Bahkan Yans sudah punya anak hampir 2 tahun usianya. Sementara Abas, bungsu di keluargaku, istrinya tengah hamil 5 bulan.

Jodoh Allah yang atur. Itu kuyakini seyakin-yakinnya. Aku tak pernah risau tentang itu. Selain aku dilahirkan sebagai lelaki yang ditakdirkan “memilih”, aku juga masih belum ingin terkekang oleh tanggung jawab yang harus dipikul seorang kepala keluarga, itu alasan mengapa aku tidak hendak terburu-buru menikah. Aku tak habis fikir kenapa sekarang aku malah ngebet untuk segera dikawinkan. Dan entah kenapa pula wanita yang menjadi pujaan hatiku bukanlah seperti yang kuidamkan. Kenyataannya aku justru kepincut sangat lekat dengan seorang gadis yang lebih tua dariku, seusia kak Yus, berpendidikan diploma, tidak cantik dan, menurutku sedikit angkuh.
“Jadi, keputusannya kita nyumbang 3 juta per kepala keluarga. Gitu ya?” Bang Sani sang hakim pertemuan itu akhirnya membulatkan keputusan. “Itu dari kalian, kalau dari aku yang pastinya lebih dari itu.” Bang Sani menyeruput kopinya. “ Masih ada yang keberatan?”

Kak Yus mengangkat tangannya. Kuponcongkan bibirku. Sudah kuduga.
“Kayaknya aku keberatan, Bang. Menurutku, itu kebanyakan. Kalau 500 ribu, bolehlah. Ini, sampe jutaan, aku perlu banyak biaya untuk yang lebih penting dari ini.”

Hatiku laksana dicambuk.

“Benar, Yus. Tapi ini kan terakhir.” Bang Sani menjawab keberatan Kak Yus. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang bantu. Mamak manalah punya uang untuk itu. Didin cuma punya 2 juta katanya. Tugas kitalah sebagai saudaranya sekali ini saja meringankan bebannya.”

“Mungkin lebih baik panggil sajalah si Limi itu ke sini, biar dia tau sebenarnya kita keluarga yang bagaimana. Sudahlah kita bukannya orang kaya, Ayah baru meninggal 3 bulan lalu, seharusnya dia tidak  minta macam-macam sama kita. Kalau mau nikah, ya udah nikah aja. Tak usah pake syarat minimal 10 juta. Emangnya sekolahnya sampe mana sih, kerja juga nggak, cuma berladang, kok berani pasang tarif tinggi.” Telingaku mulai panas dengan ucapan Kak Ros yang menyudutkan Limi, gadis yang memang menggarisi syarat minimal 10 juta untuk membelinya. Tarif yang lumayan tinggi, memang.

Aku hanya bisa mendengar keluhan mereka. Kutetap berusaha menahan agar bendungan emosi tetap tegak berdiri, tidak bocor karena akan berakibat kondisi yang memanas. Sabar. Aku berharap tetap bisa sabar hingga rapat keluarga ini bisa selesai dengan keputusan yang memuaskan walaupun aku harus mendengarkan hal-hal yang bernada sumbang. Akhirnya dengan sangat berat hati mereka semua menyetujui membantu biaya pernikahanku yang akan digelar 3 bulan lagi, 6 bulan setelah wafatnya Ayah.
***
Pesta adat nagok digelar seharian. Semua anggota keluargaku berpakaian adat lengkap. Kepala kambing diusung disertai belasan ekor ayam yang tinggal dihidangkan. Puluhan kain panjang dilampirkan. Beras dalam wadah anyaman disiapkan. Entahlah untuk apa itu semua. Apa pula arti itu semua. Yang jelas, semuanya sungguh berseberangan dengan keinginanku. Bertolak belakang pula dengan keseharianku yang moderen. Bertentangan dengan apa yang dikatakan penghulu nikah tentangku, di malam terucapnya akad nikah yang sakral.
“Saudara Didin ini adalah teman saya. Seorang pemuka agama yang sederhana dan apa adanya.”

Telingaku sedikit tertarik ke atas mendengar pujian-pujian ustadz sang penghulu nikah yang telah menikahkanku. Pujiannya yang beraneka ragam  membuatku keki. Anehnya semua yang mendengar pujian itu mengiyakan. Yang mereka tau, aku adalah pemuda yang berpengetahuan luas, mengantongi ijazah Sarjana Pendidikan Islam dari IAIN dan terpandang di masyarakat kampung sekitar.

Terpandang?  Dulu ya, karena mereka belum melihat borokku. Belakangan santer terdengar, seorang pemuka agama yang selektif memburu pasangan hidup demi terciptanya rumah tangga impian justru terperosok dalam kubangan petaka rumah tangga.
***
“Minum, bang.” Yans membawakanku segelas teh manis panas dengan kue lapis sebagai lampirannya. “Habis tu mandi, bau tau? Dari luar aja udah kecium bau asemnya.” Yans mencoba menghadirkan suasana santai di tengah kemurungan yang menyelimuti wajahku.

Aku sengaja mengungsi ke rumah Yans. Bagiku, hanya Yans yang masih menyisakan perhatian untukku. Hanya Yans yang tidak pernah kudengar menceritaiku. Hanya Yans yang tak pernah menyudutkanku. Hingga saat ini hanya Yans yang tak pernah mengeluh ketika ku mengadukan semua aib yang menimpaku. Beda dengan semua anggota keluarga dan saudara yang lain yang sering menjulurkan lidah mengejek nasib yang menimpaku.

Sambil menyeruput teh manis panas, kuedarkan pandanganku di dinding rumah Yans yang mungil. Foto-foto Habil anaknya berpose sungguh lucu. Sedikit bibirku kulebarkan. Lebih lebar lagi ketika mataku membentur bingkai foto pink di sebelah jambangan bunga. Sepasang insan dengan senyum yang terpaksa, yang lelaki berjas hitam dan berpeci sangat rapi, sementara sang wanita berkebaya silver bersanggul modern berhiaskan kalungan melati.

Perhelatan akbar itu, aku dan istrikulah sang bintangnya. Duduk di singgasana menjadi raja dan ratu yang siap dilayani para pembantu-pembantunya. Penari-penari berpakaian adat yang tak lain adalah para sanak saudara sang raja dan ratu saling berhadapan diimami sang tetua adat.  Inang, tulang, atturang, namboru, makkela dan semuanya berkumpul bergoyang sesuai dengan  alunan musik keyboard dari atas panggung berhias janur kuning. Acara makan dimulai, aneka hidangan daging ayam dan kambing ditebar di atas tikar di hadapan pengantin dan sanak keluarga. Lalu semuanya makan bersama dengan aturan yang disusun dan diatur oleh dalang tetua adat.

Menelan biaya 20 juta. Biaya yang tak sedikit, apalagi untukku yang hanya berprofesi sebagai karyawan bengkel Bang Sani. Penduduk kampung memuji. Pesta pernikahanku sukses. Walau yang menikah adalah orang yang berpendidikan, tapi tak meninggalkan adat. Pesta adat nagok tetap terlaksana. Namun, pujian itu hanya bergema selama 2 bulan. Memasuki bulan ketiga hingar bingar cerita tentang keluargaku beredar pesat di sana sini. Dengan tema yang berantonim dengan suksesnya pesta adat nagok. Berita tersiar, seorang yang alim pisah ranjang baru 2 bulan menikah.

Capek. Lelah. Aku sudah muak mendengar semua keburukan yang beredar tentang aku dan istriku. Pesta pernikahan adat na gok yang menelan biaya yang sungguh tak terkira, ternyata bukanlah jaminan kelanggengan dan damainya keluarga. Kemeriahan pesta bukanlah persyaratan tuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.
“Bang, lemari pakaiannya yang dibelakang kosong. Masukin situ aja semua pakaiannya ya. Kalau abang nggak bawa handuk, tu di kamar ada.” Yans berteriak dari kamarnya.

Kulangkahkan kaki gontai. Entah sampai kapan aku akan menumpang tinggal di rumah adikku ini. Dompet kempes. Untuk menyambung hidup usai pesta ah, nyaris tak ada dana.  Kupandangi sekali lagi foto di bingkai itu. Raja di foto itu kini telah mengasingkan diri dari istananya karena kemelut rumah tangga yang tak terselesaikan(*).

Catatan:
Pigi = pergi
borunya = anak perempuannya
namboru = bibi
parmaen = menantu.
adat na gok = adat yang penuh (menurutkan/mengikuti adat keseluruhan)


YM

 
PLN Bottom Bar