Gandeng Dokter dan Rumah Sakit untuk Gratiskan Operasi

10:45, 12/12/2010

Anne Avantie, Katolik Taat yang Sudah 10 Tahun Membantu Penderita Hydrocephalus

Menjadi desainer ternama, bagi Anne Avantie, masih belum lengkap jika tak disertai rasa peduli terhadap mereka yang menderita. Atas dasar itulah, sejak 2000, dia aktif membantu menggratiskan biaya operasi para penderita hydrocephalus.
Siang itu cukup terik. Suasana di sebuah rumah di Jalan Sanggung Barat 3B, Semarang, tampak lengang. Di depan rumah itu ada tulisan mencolok: Wisma Kasih Bunda, Pelayanan Kasih Hydrocephalus.
Di halaman rumah terdapat ayunan yang menyatu dengan rumah mainan mungil. Satu kuda-kudaan merah menyala berada di sampingnya. Suasana hening tiba-tiba dipecahkan tangis bayi dari dalam rumah.

”Ayo, silakan masuk. Kebetulan, saya hendak melepas jahitan bekas operasi si Vara,” ajak Any Setiarti yang biasa disapa suster Anik kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) dengan ramah, Sabtu pekan lalu (4/12).

Vara Meysya Putri Taibesh, nama lengkapnya, adalah bayi empat bulan penderita hydrocephalus atau penumpukan cairan otak berlebih di kepala. Salah satu ciri kelainan itu adalah bentuk kepala yang besar. Pada 24 November lalu, Vara menjalani operasi untuk penyembuhannya.

Siang itu, Vara digendong ibunya, Futhatin Ni’mah. ”Sabar ya Dik, sebentar lagi sembuh kok,” ujar Ni’mah, sang ibunda, dengan mata berkaca-kaca melihat buah hatinya menggeliat menahan sakit.
Warga Grobogan, Jawa Tengah, itu datang dari keluarga tidak mampu. Di rumah tersebut, Vara dirawat dua suster. Mereka akrab disapa suster Anik dan suster Lia.

Wisma Kasih Bunda tak ubahnya ”rumah singgah” yang memberikan layanan praoperasi dan observasi pascaoperasi. Pasien hydrocephalus  dibantu untuk mendapatkan pelayanan operasi gratis di RS St Elisabeth, Semarang.
”Sejak didirikan pada 2003, sampai sekarang Wisma Kasih Bunda ini tidak berbentuk yayasan. Tidak saya badan hukumkan dan tidak ada pengurusnya. Buka saja 24 jam. Siapa yang masuk kami terima sebagai pasien yang layak ditolong,” tegas Anne Avantie, pendiri Wisma Kasih Bunda. Wanita kelahiran Semarang, 20 Mei 1954, tersebut selama ini dikenal sebagai desainer ternama yang menjadi ikon kebaya kontemporer di Indonesia.
Mengapa belum berbadan hukum? ”Panggilan itu murni pribadi, bisa datang dan pergi. Saya tidak ingin karena sebuah aturan akhirnya tidak bisa pergi dan kembali. Saya tidak tahu apakah panggilan ini akan terus ada sampai saya mati. Intinya, saya hanya ingin menjaga kemurnian keikhlasan,” tutur penganut Katolik taat ini.

Pascaoperasi, para pasien biasanya kembali ke Wisma Kasih Bunda, setidaknya selama tiga hari untuk diobservasi. Para orangtua pasien diberi “asupan” ilmu praktis untuk mendampingi anak mereka dalam pemulihan. Tapi, tidak tersedia kamar khusus bagi mereka. Untuk tidur, mereka langsung menggunakan kasur atau matras di lantai.
Anne menceritakan, dirinya terpanggil untuk membantu penderita hydrocephalus melalui sosok Aris Mansori. Suatu hari pada awal 2000, Joseph Henry Susilo, suami Anne, membawakan sebuah surat kabar besar di Semarang. Dalam salah satu halamannya, ada berita mengenai Aris Mansori, penderita hydrocephalus asal Rembang, yang membutuhkan donatur.

Anne yang tersentuh spontan meminta seorang temannya di Rembang menyalurkan sumbangan Rp100 ribu. Ternyata, keluarga Aris salah persepsi. Mereka menyangka itu adalah bantuan uang transpor ke Semarang dari donatur yang akan membantu mengoperasikan Aris. Saat bertemu langsung itulah, Anne justru seperti mendapat ilham.

”Saat saya masukkan jari telunjuk saya di antara jari tangannya (Aris Mansori, Red) yang langsung digenggamnya, di situlah saya mendapatkan chemistry yang saya imani sampai sekarang,” ungkap ibu tiga anak tersebut.
Dengan memberanikan diri, Anne lantas meminta bantuan RS St Elisabeth, Semarang. Dari sana, dia berkenalan dengan dr Mochamad Amanullah SpBS, dokter bedah saraf, yang sampai sekarang menjadi relawan membantu pasien-pasien yang ditampung di Wisma Kasih Bunda. Pada 27 April lalu, Aris merayakan ulang tahun kesepuluh.
Sebelum membantu Aris, sebenarnya Anne sudah menjadi relawan di RS St Elisabeth selama dua tahun. Dia menyatakan terinspirasi ibunya, Amie Indriati, yang berhasil sembuh dari kanker serviks stadium 3B. “Saya merasa Tuhan itu menolong saya terus. Jadi, sebelum menemukan panggilan, saya mau balas-balasan. Kok Tuhan baik, saya mau balas Dia,” katanya lantas tersenyum. Kabar mengenai bantuan Anne Avantie kepada Aris Mansori tersebut, tampaknya, sampai kepada Bekti Wisnutomo dan Peni Respati. Pasangan itu kebetulan juga memiliki anak penderita hydrocephalus bernama Bayu Respati. Dari keluarga Respati, Anne mendapat saran untuk mendirikan semacam tempat pertemuan atau rumah singgah bagi para penderita hydrocephalus.

Dalam perjalanannya, ternyata banyak pasien dengan jenis penyakit lain yang datang. Mulai atrecia ani, megacolon, suspect epilepsy, celebral atropi, sampai tumor. Karena itu, mulai 2008, nama rumah singgah tersebut diubah menjadi Wisma Kasih Bunda.

Menurut Anne, selain RS St Elisabeth, dr Mochamad Amanullah, Kepala Wisma Kasih Bunda Margaretha Widyawati, serta para suster di wisma, keterlibatan biarawati relawan suster Fidelia OSF. juga sangat penting. Selama ini, dana dari donatur disimpan dan dikelola suster Fidelia. Dana yang terkumpul sepenuhnya digunakan untuk biaya operasi dan perawatan.

“Yang jelas, tidak pernah kekurangan,” kata Anne saat ditanya jumlah donatur tetap. Sampai sekarang, Wisma Kasih Bunda telah membantu menggratiskan biaya operasi serta pengobatan lebih dari 800 pasien. Sebagian besar merupakan penderita hydrocephalus.(*/c5/jpnn)


YM

Kata kunci pencarian berita ini:

 
PLN Bottom Bar