Tuhan yang Memberi, Tuhan yang Mengambil

10:30, 14/11/2010

OLEH :     Pdm. Edison Sinurat

Ayub 1:21
“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Tragedi dalam hidup ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu dan datangnya tiba-tiba seperti di kepulauan Mentawai dan di sekitar Gunung Merapi beberapa hari yang lalu. Tiba-tiba orang kehilangan segalanya dalam hitungan menit. Tetapi bagaimana kita bersikapi jika tragedi menimpa?

Sebuah tragedi luar biasa dialami seorang saleh di Alkitab bernama Ayub. Ia kehilangan seluruh kekayaan, semua anak-anak yang dikasihinya tujuh laki-laki dan tiga perempuan dalam tempo singkat. Tuhan mengijinkan Iblis mencobainya dengan mengambil semua hartanya. Bahkan Iblis menimpa Ayub dengan barah busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya.

Pergolakan hidup Ayub dalam tragedi maha hebat yang menimpanya menjadi pelajaran bagi kita. Sesungguhnya belum ada seorang pun yang mengalami nasib seperti dia di zaman ini. Mari kita perhatikan kisahnya berikut ini.
Suatu hari, ketika anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata:

“Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut. (Ayub 1:13-22).

Sangat sulit membayangkan seorang ayah harus menghadapi 10 mayat putra-putrinya terbujur kaku. Seorang yang kaya raya, dalam sekejap menjadi yang termiskin karena bencana. Mungkin dia akan meraung-raung sebelum akhirnya pingsan.

Sangat mudah untuk memuji Tuhan saat mendapat berkat. Terpujilah Tuhan, saya ditolong Tuhan, terpujilah Tuhan, saya menjadi sarjana, terpujilah Tuhan, saya mendapat pekerjaan, terpujilah Tuhan, saya sudah sehat, terpujilah Tuhan, saya naik pangkat, terpujilah Tuhan, saya dapat anak atau cucu dan lain-lain.
Tidak sukar untuk memuji Tuhan dalam kondisi sedang untung. Semua orang mampu melakukannya. Tetapi Ayub, manakala semua kekayaannya diambil, dia memuji Tuhan, juga waktu kehilangan semua anak yang dikasihinya. Luar biasa. Dia tidak pernah berdosa dengan mulutnya.

Mengapa Ayub mampu bertahan dalam kondisi seperti itu tetap memuji Tuhan? Ayub mengakui kedaulatan Tuhan dalam hidupnya. Ia seorang saleh, ia takut akan Tuhan. Sebuah pengakuan luar biasa: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Ia terlahir ke bumi ini dengan tidak membawa apa-apa. Jadi kalau kemudian ia mendapat kekayaan, itu pemberian Tuhan, dikaruniakan kepadanya.

Semua kita harus sadar, apa pun yang kita miliki adalah pemberian Tuhan, dipercayakan kepada kita. Jika akhirnya kita harus kehilangan, kita tidak terlalu sedih dan hancur karenanya, karena kita tidak membawa apa pun ke dunia ini. Kita harus siap hati menghadapi segala kemungkinan.

Nasehat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus: “Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” 1 Korintus 7:29-31
Kita puji Tuhan bukan saja saat mendapat berkat, tetapi juga pada waktu kehilangan harta, memuji Tuhan pada segala waktu. Karena semuanya berasal dari Tuhan.

Daud, Raja Israel yang kerap kali terancam nyawanya adalah seorang yang suka memuji Tuhan. Dalam Mazmur 34:2 ia berkata: “Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” (*)


YM

Kata kunci pencarian berita ini:

 
PLN Bottom Bar