Uang Berobat Hasil Utang Tetangga Ditilep Tabib Palsu
10:35, 31/01/2011Menjenguk Balita Pengidap Hydrocepallus di Patumbak
Gadis kecil berusia lima tahun ini hanya bisa terbaring lemah di kasur atau di pangkuan kedua orang tuanya. Padahal teman sebayanya sedang lincah-lincahnya bermain. Uluran tangan dermawan pun diharapkan untuk meringankan deritanya.
Ari Sisworo, Medan
Minggu sore kemarin, wartawan koran ini berkunjung ke sebuah rumah kecil warna hijau berukuran 4 X 6 meter di Jalan Marindal I, Patumbak. Sebuah pemandangann miris pun langusng terlihat saat tiba di rumah tersebut. Seorang ibu muda tengah menggendong putrinya. Ibu tersebut adalah Sri Wahyuni, sementara yang digendongnya adalah anak sulungnya yakni, Hanifah Salwa. Gadis kecil kelahiran 22 Februari 2005 silam ini, tak bergeming dari gendongan ibunya tersebut.
Matanya, tampak melirik ke kanan dan ke kiri. Tak berapa lama wartawan koran ini duduk di lantai rumah tersebut, Sri Wahyuni pun merebahkan putrinya di sebuah kasur kecil bermotif belang. Sebelum wartawan koran ini menjuruskan pandangan ke Salwa, sejenak wartawan koran ini mengamati detil gubuk berukuran 4 X 6 meter tersebut.
Di dalam ruangan itu, hanya ada empat buah kursi plastik dan mejanya, semuanya berwarna biru. Di sudut ruangan ada sebuah dispenser. Di sisi lainnya, ada sebuah lemari es tahun lama. Selain itu, tidak ada perlengkapan lainnya seperti televisi dan sebagainya di dalam ruangan 4 X 3 meter berwarna hijau muda tersebut. Yang tampak hanya beberapa foto kenangan keluarga kecil yang terpampang di dinding yang terbuat dari tepas.
Pandangan wartawan koran ini tertuju pada lorong kecil menuju bagian belakang rumah atau dapur. Tak ada pula tanda-tanda, adanya benda-benda lainnya. Yang terbayang oleh wartawan koran ini, pasangan Ayub dan Sri Wahyuni ini memang benar keluarga kurang mampu. Kembali ke Salwa yang direbahkan ibunya di kasur kecil. Tempat itu menjadi tempat istirahat sehari-hari dari Salwa.
Perlahan perbincangan dimulai. Kepada wartawan koran ini, Wahyuni mengungkapkan, setelah diperiksa dan dinyatakan mengidap penyakit Hydrocepallus, Ayub dan Wahyuni tidak pernah memeriksakan atau membawa Salwa berobat secara medis lagi. Itu dikarenakan ketiadaan biaya. Ayub, pria 33 Tahun kelahiran Tanjung Pura hanyalah seorang buruh bangunan yang penghasilan per harinya antara Rp35 ribu hingga Rp40 ribu. Sementara Wahyuni hanyalah ibu rumah tangga biasa. Dimana setiap harinya, Wahyuni harus mengurusi Salwa dan anak keduanya Istiqhomah yang berusia 3 tahun.
Perlahan Wahyuni menceritakan, penyakit itu sudah terdeteksi sejak Salwa berusia 2 bulan. Setelah itu, diameter kepala dari Salwa terus membesar. Kala pemeriksaan di RS Elisabeth Medan itu, Wahyuni yang ditemani Ayub (Suaminya), mendapat kepastian jenis penyakit yang diidap putrinya.
“Kata Dokter penyakit Hydrocepallus. Nah, kalau mau dioperasi, biayanya sekitar Rp30 juta. Kami tidak memiliki uang sebanyak itu. Jadi, kami hanya pakai pengobatan kampung saja. Kalau dihitung-hitung, kata orang sih seharusnya kami sudah bisa buat rumah sendiri dan tidak tinggal di rumah milik mertua. Tapi itu tidak saya pikirkan, yang terpenting anak saya ini bisa cepat sembuh,” ungkap Wahyuni.
Kisah ini semakin dramatis, saat Ayub dan Wahyuni pernah ditipu oleh seseorang sebesar Rp600 ribu, beberapa waktu lalu. Orang tersebut berinisial D dan mengaku adalah warga di desa tersebut. Saat itu, D mengaku seorang tabib dan bisa menyembuhkan penyakit Salwa. Tanpa bertanya lagi, Wahyuni langsung mengupayakan uang sebesar Rp600 ribu tersebut.
“Demi anak, saya langsung pinjam tetangga. Dan uang itu langsung saya bayar. Dia sempat dua sampai tiga kali datang ke tempat kami dan katanya mau mengobati. Tapi, setelah dua-tiga kali datang, ternyata tidak ada perubahan. Eh, nggak lama ada tetangga saya yang bilang dia itu penipu. Dan itu memang benar, ternyata dia bukan warga sini,” keluh perempuan berusia 25 tahun tersebut.
Saat ini, baik Ayub dan Wahyuni hanya bisa pasrah untuk menerima kenyataan itu. Yang diharapkan hanyalah uluran tangan dari para penderma atau donatur. “Mau bagaimana lagi, kami belum punya biaya untuk pengobatan anak kami. Sampai sekarang belum ada yang memberi bantuan, kalau ada kami sangat merasa bersyukur, karena bisa mengobatkan anak kami,” kata Ayub.
Setelah mendengar keluh kesah itu, kembali pembicaraan ke Salwa. Baik Ayub dan Wahyuni, selalu merasa sedih ketika melihat teman-teman Salwa yang seusia berlarian dan bermain di sekitar rumah mereka. “Pasti sedihlah. Tapi kami juga tidak bisa berbuat banyak,” tutur Ayub dan Wahyuni.
Pada kesempatan itu, Wahyuni sempat melontarkan keinginannya untuk mengobatkan anak sulungnya itu ke sebuah pengobatan alternatif di kawasan Jalan Gajah Mada Medan, yaitu Songji. Namun, kembali lagi persoalan dana membenturkan keinginan mereka. Karena informasinya, untuk sekali pengobatan dibutuhkan biaya sebesar Rp5 juta. “Katanya sekali pengobatan Rp5 juta. Tengok nantilah, mudah-mudahan ada rezeki,” pasrahnya. (*)