Enam Novel Sejarah dari Nyoman Manda
09:18, 06/02/2011Nyoman Manda (73), sastrawan Bali kelahiran Gianyar, selama tahun 2010 tercatat menulis enam novel sejarah yang tiga di antaranya mengenai Perang Puputan Badung yang terjadi 23 September 1906, atau 105 tahun yang silam.
“Trilogi Puputan Badung yang ditulis Manda, menceriterakan perang habis-habisan antara rakyat yang dipimpin rajanya melawan penjajah Belanda,” kata Dr I Nyoman Darma Putra, dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana di Denpasar, Rabu lalu.
Ia mengatakan, trilogi novel tersebut terdiri atas “Biyar Biyur ring Pesisi Sanur” (Ribut-ribut di Pantai Sanur), “Kulkul Bulus” (Kentongan Bertalu-talu), dan “Tyaga Wani Mati” (Siaga berani mati).
Tiga novel sejarah karya Nyoman Manda lainnya, menurut Darma Putra mengangkat tema berbeda-beda. “Novel Gending Pengalu” (Nyanyian Pedagang Keliling) berkisah tentang berdirinya kerajaan Gianyar, Bali Timur pada abad ke-18.
Demikian pula novel “Suara Saking Batukaru” (Suara dari Desa Batukaru) merupakan kisah sejarah pertempuran rakyat Batukaru di Kabupaten Tabanan yang terjadi tahun 1946, dan novel terakhir “Gusti Ayu Kedangan” (Gusti Ayu Kedangan), mengisahkan ekspedisi Gajah Mada ke Bali, dilukiskan terjadi abad ke-14.
Sama dengan trilogi novel Puputan Badung, novel-novel sejarah itupun bertujuan memperkenalkan sejarah lewat karya sastra.
Di tengah minim, sulit diperoleh, atau keringnya buku-buku sejarah, kehadiran novel-novel sejarah Nyoman Manda bisa menjadi jendela alternatif bagi masyarakat Bali untuk menyimak aneka babakan sejarah Bali dari era pra-kolonial, kolonial, dan pascakolonial.
Darma Putra menjelaskan, tujuh buku lainnya yang terbit sepanjnag 2010 terdiri dari tiga kumpulan cerpen, dua novelet, dan dua kumpulan puisi.
Meskipun menggarap tema-tema berbeda, buku-buku sastra Bali sepanjang 2010 didominasi tema sosial politik yang aktual dengan wacana media massa.
Bawa Samar Gantang menerbitkan kumpulan cerpen Jenggot Kambing (Jenggot Kambing), memuat 13 cerpen. Kritik sosial sangat dominan dalam kumpulan cerpen itu.
Ada cerita yang mengangkat tema tentang semakin habisnya sawah-sawah di Bali akibat pembangunan fasilitas pariwisata dan pemukiman.
Ketika sawah-sawah habis, Bali menjadi hutan-beton dan kehilangan keindahan, ujar Darma Putra.
Demikian pula Made Suagianto menerbitkan dua kumpulan cerpen Preman (Preman) dan Bikul (Tikus).
Bikul berisi 14 cerpen, Preman berisi 13 cerita, sebagian besar sudah pernah diterbitkan di Bali Orti, yakni sisipan berbahasa daerah Bali pada surat kabar Bali Post edisi Minggu, sehingga memiliki karakteristik sastra koran.
Sebagai cerpen koran, ukurannya relatif pendek. Karakteristik lain dari cerpen koran adalah tema-temanya yang sangat aktual dan topikal, nyaris sejajar dengan topik-topik berita koran, seperti cerpen berjudul “Elpiji” dan “Sertifikat”, tutur Darma Putra. (net/jpnn)