Keakuan, Kekanakan, Kesadaran, Kepercayadiriaan, atau Kebodohan?

10:39, 27/06/2010

Oleh: Ramadhan Batubara

Ketika ada yang bertanya, apakah ada yang abadi di muka bumi ini? Maka, jawaban klasik yang didengar, pasti tidak ada. Kalau diukur dari sudut pandang agama atau kepercayaan, jawabnya pastilah Tuhan. Namun, bagaimana jika dilihat dari sudut yang lebih umum, apakah ada yang abadi di muka bumi ini? Jawabnya, siapa bilang tidak ada!

Ya, pertanyaan di atas memang cenderung menjadi pertanyaan remaja yang kehilangan cinta. Dengan kata lain, untuk membuang kesedihan karena ditinggal kekasih, kalimat tanya itu pun dikemukakan. Semacam pelampiasan, pembelaan diri, dan hiburan semata. Lebih praktisnya, seorang sahabat akan mendatangi kita ketika putus cinta. Dan, dia akan berkata, “Sudahlah, lupakan saja, tak ada yang abadi di muka bumi ini. Cinta itu datang dan pergi, jadi bangkitlah, kau akan menemukan yang lain.”

Lalu, kita akan tersenyum sambil melekatkan kalimatnya itu. Maka, kita pun percaya bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Padahal, kita tahu, sejak zaman nenek kita hidup hingga sekarang dua tambah dua tetap saja empat. Bah!

Itulah hidup, kebenaran cenderung menjadi sesuatu yang diinginkan tanpa melihat kenyataan. Seandainya saja kita mau lebih bijak lagi, selain sesuatu yang berhubungan dengan matematika, ada hal lain yang abadi di muka bumi ini. Apa itu? Ya, apalagi kalau bukan perubahan. Ayolah, apa ada di muka bumi ini yang tidak berubah? Batu besar saja bisa berubah menjadi kecil dan berkeping karena dikikis oleh air. Orang kaya menjadi miskin, orang miskin bertambah miskin, dan walikota pun berganti wajah. Hm, tapi dua tambah dua tetap saja empat ya?

Sudahlah, kalau bicara soal angka, kita tak akan menemukan cela untuk mengatakannya berubah. Kecuali, jika angka itu dipandang dari sesuatu yang lain. Dengan kata lain, bukan penjumlahan, tapi pada penggunaan. Mungkin dua tambah dua tetap empat, namun jika diteropong melalui kacamata koruptor – meskipun angkanya tetap sama – maknanya bisa berubah kan? Misalnya, harga mobil yang seharusnya seratus juta dia bisa menggelembung menjadi empat ratus juta per unit ketika dikalikan seratus unit. Hehehehehe.

Lucu juga ketika masalah abadi alias keabadian ini mengemuka di kepala saya. Semuanya berawal dari berita tentang Goenawan Mohammad (GM) yang mengembalikan penghargaan seni yang diterimanya beberapa waktu lalu. Alasannya, karena dia sudah tidak sepaham lagi dengan si pemberi award. Sejatinya, saya bingung dengan kenyataan ini. Bagaimana tidak, yang saya bayangkan GM pasti sumringah ketika penghargaan dia terima beberapa waktu lalu itu. Namun, seiring waktu, kesumringahan tersebut menyurut, dia jadi tak semangat. Perubahan begitu menerornya, dia jadi tak kuat. Pertanyaannya, apa yang membuat dia tidak kuat? Apakah itu didasari oleh keakuannya kini; sikap kekanakan yang tiba-tiba hadir; kesadaran pada sesuatu yang tak benar; kepercayadiriaan yang berlebihan; atau kebodohan yang  timbul sesaat? Terus terang saya mencoba mencari jawaban dari sikapnya itu dan saya tidak menemukan. Alasan GM yang saya baca dan tonton, karena dia sudah tak sepaham lagi dengan si pemberi award tersebut. Bah, sederhana sekali kesannya. Saya rasa tidak sekadar itu, pasti ada sesuatu yang besar di balik itu semua. Apalagi, GM mengembalikan penghargaan itu lengkap dengan bunganya. Baiklah jika GM memiliki uang banyak, namun apakah dia bisa mengembalikan imej yang sudah terbentuk dari penghargaan yang diterimanya itu? Bagaimanapun, award adalah penghargaan yang diberikan pada seseorang yang layak. Dan, kadang karena dianggap layak oleh si pemberi award, maka nama si penerima akan semakin layak.  Ini dia repotnya, ada sesuatu yang tidak berhubungan dengan angka di sini.

Jika dihubungkan, kasus ini mirip dengan kasus seniman lain dari masa lalu. Masih ingat ketika Mochtar Lubis mengembalikan award yang diterimanya karena beberapa tahun kemudian Pramoedya Ananta Toer juga menerimanya? Jelas, ini bukan masalah angka kan? Terus terang, saya jadi berpikir ini menjadi sebuah langkah politik seni. Ya, mengembalikan award untuk menaikkan imej. Padahal, jelas-jelas award tersebut telah menaikan imej mereka. Apakah ada yang membantah, pengembalian award itu dilakukan bukan karena untuk menempatkan dirinya pada sebuah ruang berbeda? Maksudnya, GM memilih keluar dari wilayah Bakrie, sedangkan Mochtar Lubis tak mau disamakan dengan Pramoedya yang jelas-jelas berseberangan dengan aliran seninya. Terserahlah….

Saat ini yang saya bayangkan, mungkinkah jika pahlawan nasional masih hidup dia akan mengembalikan penghargaan yang dia terima dari negara? Pasalnya, bisa saja kan dia tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini. Ya, bukankah banyak yang dia cita-citakan telah berubah. Ada penyelewengan dari tekad, jika diteruskan, akan menjelekkan cita-cita sang pahlawan tersebut. Persis dengan GM, dia merasa Bakrie telah berubah karena itu dia kembalikan awardnya. Jadi, jika GM masih mengakui diri sebagai penerima award dari Bakrie, maka dia tidak mau disamakan dengan Bakrie yang dianggapnya sudah berubah.

Nah, seandainya masih hidup, pahlawan nasional juga bisa berpikir semacam itu. Apakah pahlawan itu tidak malu jika dia dijadikan pahlawan di negara yang dianggap tak benar? Tapi, bukankah negara yang besar adalah negara yang mengakui jasa pahlawannya? Benar! Namun, seperti GM, bukankah pahlawan juga bisa menarik penghargaan yang diberikan negara jika negaranya itu sudah tak sesuai lagi dengannya? Lalu, kenapa GM tidak bisa seperti pahlawan nasional saja? Maksudnya, andaikan saja sudah meninggal, jadi tak perlu mengembalikan award tersebut. Kan, penghargaan yang diterima GM itu hadir di masa lalu, bukan di masa sekarang ketika pemikiran GM dan Bakrie telah berseberangan? Seperti kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot.” (*)


YM

Comments (1)

  1. says:

    keabadian hanyalah milik Tuhan,manusia hanya punya kewajiban untuk beribadah kepada-Nya.Semoga saja kita semua peduli akan generasi muda yang masih awam akan pemahaman mengenai hidup yang sebenarnya,peran orang tua dan pihak terkait sangat mendukung dalam perkembangan mereka khususnya guru.Mohon perhatiannya mengenai pendidikan dan kesehatan masyarakat,khususnya masyarakat ekonomi lemah,sekian dan terima kasih.

 
PLN Bottom Bar