Lingkungan Terdekat Sangat Mempengaruhi

10:11, 17/10/2010
Lingkungan Terdekat Sangat Mempengaruhi
SENYUM: Dra Lily MBA tersenyum saat berbincang tentang anak.

Anak remaja masih labil. Ia akan bingung jika tak dibimbing terus-menerus oleh orangtuanya saat mulai menyukai lawan jenis. Tanpa bimbingan orangtua, banyak remaja yang melakukan orientasi seksual. Begitulah pendapat Dra Lily, MBA MH, sekretaris Kaukus Perempuan Parlemen DPRD Kota Medan yang juga Ketua Fraksi Medan Bersatu.

Dalam hal ini, kata Wakil Ketua Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) ini, tak bisa dipungkiri orientasi seksual malah menjadi tren di kalangan remaja yang labil tersebut. Faktanya, pertumbuhan orientasi seksual paling cepat saat ini adalah kaum wanita yang menyukai wanita (lesbian) dibanding pria menyukai pria (gay).

“Saya sendiri merasa prihatin dengan begitu cepatnya muncul kaum atau komunitas lesbian dibanding gay. Para komunitas lesbian itu malah tidak sungkan lagi untuk mengakui keberadaan mereka di tempat umum dan di lingkungan keluarga. Mereka ini adalah anak-anak remaja putri yang masih bersekolah,” kata istri dari Sonny Firdaus SH ini.

Menurutnya, orientasi seksual lebih besar dipengaruhi lingkungan, meskipun setiap orang memiliki gen feminin dan maskulin dalam dirinya. Sebab, pada dasarnya setiap orang terlahir dengan kapasitas yang sama untuk bisa menyukai sesama maupun lawan jenisnya. Bentuk rasa sukanya pun bervariasi. Mulai rasa suka yang netral sifatnya rasa kekaguman, sampai yang menjurus pada hubungan asmara atau didasarkan pada kebutuhan seksual alternatif.

“Penyebab anak menjadi lesbian sangat subyektif dan harus dilihat dari akarnya. Penyebabnya bisa karena pernah mengalami kekerasan seksual sehingga akhirnya membenci lelaki, sering disakiti lelaki, sekadar ikut-ikutan saja atau mencari figur ayah dan lainnya. Nah, faktor ini yang menyebabkan si anak mencari hubungan seksual alternatif dan tak ingin dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks, apalagi kelainan perilaku seksual,” papar Penasehat KONI Medan ini.

Dikatakannya, orangtua harus lebih perhatian pada masa remaja anaknya atau yang disebut fase laten. Sebab, pada masa itu anak sudah mengenal seks tetapi tidak untuk menyalurkan secara biologis. Jika masa laten ini tidak didampingi orangtua dengan baik, orientasi anak bisa berubah. Anak bingung jika tidak diarahkan, khususnya di masa usia 15 tahun, sudah muncul ketertarikan terhadap lawan jenis.

“Jika ornagtua tak mendamping dan membimbing, anak akan bingung mencari tempat tempat bertanya sehingga akhirnya hilang arah dan kemudian melakukan orientasi seksual bisa saja berubah. Ini karena usia remaja sangat sensitif.

Bagaimanapun remaja masih labil dan bisa terpengaruh lingkungan untuk memilih menjadi heteroseksual atau homoseksual,” paparnya.

Tapi, meskipun pola asuh dan lingkungan sudah dilakukan orangtua semaksimal mungkin, tapi si anak tetap melakukan orientasi seksualnya (lesbian), bukan tidak mungkin penyebabnya karena si anak tidak dibekali pembentukan diri, karakter, pendidikan agama, dan moralitas dari orangtuanya,” bilang wanita kelahiran 28 Agustus 1981 ini.

Artinya, pola asuh yang tepat dan terarah akan membantu remaja mengindentifikasi dirinya. Sementara pola asuh yang keliru membuat remaja mencari pengakuan diri di luar rumah, di lingkungan yang membuatnya nyaman.
“Orangtua harus mengadopsi pola asuh di zaman moderen. Yakni dengan memberikan kebebasan, namun tetap dampingi. Orangtua harus memposisikan diri sebagai teman, harus tahu perkembangan zaman sekarang dan jangan merasa paling benar. Bila anak merasa nyaman di rumah, kemungkinan untuk melakukan orientasi seksual sangat kecil sekali,” kata ibu dari Linny, Syntia dan Elvina ini.

Dalam hal ini, Lily mengaku tak ingin menyudutkan komunitas lesbian ataupun gay karena kehadiran mereka juga ingin diakui keberadaannya. Apalagi, memilih orientasi seksual tersebut adalah Hak Azasi Manusia (HAM). “Tapi yang perlu diingat, negara kita adalah negara Timur yang masih kental dengan budaya dan agama. Negara kita sendiri belum mengakui keberadaan kaum ini, tak seperti di negara Barat,” tegasnya wanita yang mahir main musik piano ini.
Meski demikian, hal ini semuanya kembali ke individu masing-masing untuk mempunyai kesadaran mengubah pola pikir. “Di sinilah pendidikan agama berperan penting. Orientasi seksual dipengaruhi oleh pembentukan diri, karakter, dan agama. Sebab, kesalahan pembentukan ini sejak awal itulah yang membuat anak jadi salah arah,” tuturnya.

Agar anak remaja putri tidak semakin banyak melakukan orientasi seksualnya maupun kegiatan negatif lainnya, Lily berharap pihak sekolah turut andil dengan memberikan berbagai kegiatan eskul kepada siswanya yang bertujuan membentuk karakter dan kepribadian anak. “Tapi peran moral dan agama adalah paling penting diberikan di lingkungan rumah yakni orangtua maupun di sekolah,” pungkasnya. (ila)

Perempuan Perokok Naik 10 Kali Lipat

Indonesia masuk dalam daftar tiga besar negara dengan perokok terbesar di dunia setelah India dan Cina. Tak hanya fakta ini yang memprihatinkan, tetapi juga bahwa perempuan perokok juga semakin besar jumlahnya. Yakni naik 10 kali lipat selama tiga tahun terakhir.

Saat ini jumlah perokok di Indonesia sebesar 65 juta, dengan lima persennya adalah perempuan. Sementara jumlah perokok pasif di Indonesia juga tinggi sebanyak 50 juta, dan kebanyakan dari mereka  adalah perempuan.
Ketua Harian Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Laksmiati A Hanafiah, menegaskan bahwa perempuan, baik perokok pasif maupun aktif, adalah korban. “Iklan rokok yang massive dan digambarkannya merokok sebagai gaya hidup menjadi pemicu semakin banyaknya perempuan merokok,” papar Laksmiati.

Dikatakannya, zat nikotin yang terkandung dalam rokok menyebabkan adiksi. Banyak penelitian membuktikan sifat rokok yang membuat candu, dan berbahaya untuk kesehatan.

Tapi, kabar baiknya, kesadaran masyarakat untuk menghentikan kebiasaan merokok semakin meningkat lima tahun terakhir. “Meskipun masih lebih banyak orang yang tetap menjalani kebiasaan yang merugikan kesehatan ini. Kecanduan masih dijadikan alasan klise dan pembenaran para perokok,” kata Laksmiati.

Penyadaran masih perlu dilakukan, dengan melihat dari dampak kesehatan yang ditimbulkan rokok. Melalui 23 organisasi yang beraliansi dengan Komnas PT, termasuk Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, PGRI, dan berbagai organisasi profesi lainnya.

“Kami tidak melarang industri rokok, atau melarang orang untuk merokok, yang kami imbau adalah pelarangan iklan rokok,” tegas Laksmiati.

Komnas PT menyasar anak muda dalam kampanye anti tembakau yang digulirkan komisi ini sejak 1998 lalu melalui berbagai kegiatan, termasuk advokasi ke pemerintah. (net/jpnn)


YM

 
PLN Bottom Bar