Bukan Penonton Meninggalkan Teater
10:17, 31/10/2010MEDAN-Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia juga memiliki peran yang besar dalam meramaikan pentas berkesenian taah air. Meskipun belakangan ini geliat teater di Kota Medan seolah kehilangan gaungnya.
Besarnya potensi Kota Medan dalam pentas teater ini bisa kita lihat dari maraknya sanggar teater yang bermunculan. Tidak lagi hanya berpusat di Taman Budaya Sumatera Utara, tapi juga menyebar ke kampus-kampus seperti Lembaga Kesenian Kampus (LKK) di Universitas Negeri Medan, Teater Sisi (Tesis) di Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, atau Teater ‘O’ di Universitas Sumatera Utara. Petumbuhan teater juga terlihat di tingkat pelajar seperti Semu Teater (Smut) di SMK Telkom Medan.
Anehnya maraknya pertumbuhan teater tersebut tidak selalu diikuti antusias penonton di setiap pertunjukan yang digelar. Panitia kerap mengaku kesulitan dalam penjualan tiket. Jangankan membeli, tak jarang mereka mendengar kalimat tak sedap seperti, “Ah, paling lihat mata-mata mendelik dan suara-suara keras” atau “pening, entah apa yang mau disampaikan di situ nantinya”. Itu pun menjadi pertanyaan.
“Banyak insan teater melihat ini sebagai peninggalan penonton terhadap teater. Bukan. Bukan penonton yang meninggalkan teater. Tapi teater lah yang meninggalkan penonton. Ini yang harus mulai dipahami insan perteateran Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan sebagai ibukotanya. Karena Teater Medan masih tetap diperhitungkan di pentas nasional,” ucap Pengamat dan Pelaku Budaya Thompson Hutasoit di sesi diskusi Monolog Coro di Ruang Pagelaran Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Selasa (26/10).
Pengakuan terhadap teater Kota Medan terlihat pada Mimbar Teater Indonesia (MTI) yang dilaksanakan di Solo belum lama ini. Di situ Sumatera Utara tampil memukau dengan membawakan monolog Coro yang diangkat dari naskah Putu Wijaya. Kreatifitas yang ditunjukkan oleh Agus Susilo dalam menginterpretasikan naskah mendapat aplaus tidak saja dari sang penulis (Putu Wijaya, Red) juga Afrizal Manan.
Menurut Thompson, fenomena yang ada saat ini tak terlepas dari pemahaman akan teater modern itu sendiri. Tepatnya pemahaman tidak penuh dalam pengadopsian yang dilakukan. Selain itu tidak ada konsistensi yang ditunjukkan dalam penggarapan sebuah pertunjukan. Semua itu membuat tidak adanya perdebatan yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan sebuah pertunjukan.
“Ini juga yang ditanyakan Michael Bodden kepada saya mengenai kemungkinan masuknya teater modern di Indonesia. Hanya saja, adaptasi yang kita lakukan tidak menyeluruh. Masih sebatas naskah. Itu yang harus dibongkar. Kenapa tidak sistem manajemennya juga kita adopsi? Bukan hanya penggarapan naskah tapi juga managemennya” tuturnya.
Thompson yang konsern mengangkat teater tradisional asal suku Batak ini yaitu Opera Batak melihat ada kecenderungan penggarapan naskah yang dilakukan tidak menyertakan kondisi audiens sebuah pertunjukan. Hal itu menyebabkan penonton harus berkerut dahi untuk memahami pesan yang ingin disampaikan. Begitu juga dengan aktor yang berperan terlalu asik dengan pemahamannya sendiri. “Teater adalah aktor dan butuh dialog-dialog untuk itu,” tegasnya.
Terakhir dukungan pemerintah tetap sangat dibutuhkan dalam perkembangan dunia teater di Kota Medan. Hingga saat ini belum terdapat satu pun tempat atau ruang yang representatif untuk sebuah pertunjukan teater.
Hal yang seharusnya menjadi pukulan bagi pemerintah daerah yang lebih memilih stempel ‘Paling Korup’ dibanding berbicara di pentas nasional melalui seni. Seni teater. (jul)