Transparansi, Sanksi Tegas Bagi yang Menyimpang

10:37, 05/01/2011

Setelah Dana BOS Ditransfer ke Daerah  (habis)

Dengan mekanisme baru tersebut, bandul politik pembiayaan pendidikan kini bergeser ke daerah. Pertanyaannya, akankah niat baik pemerintah pusat untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan BOS dapat berjalan mulus di lapangan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sedikitnya ada tiga variabel kunci yang harus dilihat secara objektif. Pertama, komitmen kepala daerah. Merujuk pada pernyataan Mendiknas, tiga prinsip pengelolaan BOS yang harus tetap disosialisasikan adalah ketepatan waktu penerimaan, ketepatan jumlah yang diterima sekolah, dan ketepatan penggunaan dana. Dalam konteks ini, posisi dan peran kepala daerah “melalui dinas pendidikan” sangat menentukan tegak atau tidaknya dua di antara tiga prinsip tersebut.

Sayangnya, diakui atau tidak, sekolah merupakan salah satu institusi yang rawan praktik mobilisasi dan politisasi.
Dalam konteks pemilihan kepada daerah secara langsung, mekanisme baru ini rawan diselewengkan oleh petahana (incumbent) untuk memuluskan kepentingannya dengan memanfaatkan ketergantungan sekolah dalam penyaluran dana BOS senilai total Rp 16,8 triliun. Apalagi, pada saat sama, dana tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp 18,5 triliun juga turut ditransfer pemerintah ke daerah sebagai dana penyesuaian.

Karena itu, mekanisme penyaluran BOS 2011 perlu dibarengi dengan sanksi tegas bagi setiap pihak yang menyalahi tiga prinsip di atas. Termasuk kepala daerah yang berupaya memanfaatkan setiap celah dalam mekanisme penyaluran BOS untuk kepentingan pribadi. Tanpa sanksi tegas, sebagaimana sabda Lord Acton, setiap kekuasaan akan cenderung korup. Kekuasaan yang absolut juga akan memicu perilaku korup secara absolut.

Kedua, komitmen sekolah. Sepanjang monitoring dan evaluasi kinerja pemerintah daerah yang dilaksanakan JPIP, transparansi kebijakan pendidikan merupakan aspek yang paling minim terobosan. Termasuk di dalamnya transparansi pengelolaan dana BOS di tingkat sekolah.

Lima tahun terakhir, hanya sedikit daerah yang secara serius dan konsisten mampu mendorong penerapan prinsip transparansi di tingkat sekolah. Sayangnya, kalau tidak bersifat pilot project (hanya diterapkan beberapa sekolah, belum berjalan secara massif), pemerintah daerah cenderung menerapkan kebijakan tersebut karena keterkaitan dengan program dari lembaga donor.

Rendahnya komitmen untuk menerapkan transparansi anggaran umumnya dipicu oleh masih banyaknya pengeluaran yang tidak jelas (blindly spending) di tingkat sekolah. Faktanya, meski panduan BOS telah menegaskan adanya kewajiban mengumumkan penggunaan dana tersebut setiap tiga bulan, mayoritas sekolah cenderung enggan mempraktikkannya.

Dalam konteks ini, patut diduga adanya keterkaitan antara blindly spending tersebut dan ketidaktegasan aparat dinas pendidikan di daerah dalam menegakkan mekanisme transparansi penggunaan dana BOS.

Karena itu, pemerintah pusat juga harus menciptakan mekanisme pengaduan yang memungkinkan pihak sekolah melaporkan setiap penyimpangan oleh aparat di daerah tanpa dihantui rasa takut. Dengan begitu, harapan Mendiknas agar sekolah dapat menjadi agen pembelajaran antikorupsi akan terwujud.

Ketiga, peran masyarakat sipil. Beberapa waktu lalu, pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan korupsi di lima sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di Jakarta. Langkah ICW pun berkembang menjadi sengketa informasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan para kepala sekolah.
Pasalnya, pegiat ICW menuntut akses terhadap dokumen surat pertanggungjawaban (SPJ) pengelolaan dana BOS, bantuan operasional pendidikan (BOP), dan block grant Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Di sisi lain, pihak dinas pendidikan dan sekolah menolak tuntutan ICW dan menganggap dokumen tersebut sebagai rahasia negara. Hasilnya, Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan bahwa dokumen dimaksud adalah dokumen publik. Karena itu, pihak dinas dan sekolah harus memberikan akses terhadap dokumen tersebut kepada masyarakat yang memintanya.

Putusan KIP itu membuka pintu yang sangat lebar bagi elemen masyarakat sipil di berbagai daerah untuk turut mendorong sekolah sebagai agen pendidikan antikorupsi. Pascasengketa itu, Mendiknas juga telah menegaskan bahwa dana BOS merupakan domain publik dan siapa pun berhak mendapat informasi tentang penggunaannya. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita semua berubah menjadi lebih transparan? (/c2/agm)


YM

 
PLN Bottom Bar