Kehidupan Baru dari Buku Bekas
10:34, 25/01/2011Y. Silalahi, Dari Titi Gantung ke Lapangan Merdeka
Berpegang teguh pada prinsip, salah seorang pedagang buku bekas di seputaran Lapangan Merdeka Medan, Y Silalahi (66) terbilang berhasil menjalankan perannya. Usaha yang dilakoni selama 44 tahun telah mengantar anaknya memasuki kehidupan baru.
“Prinsipnya, usaha apa pun yang kita lakoni sudah seharusnya ditekuni. Saya memang hanya jual buku pelajaran. Kalau majalah atau komik saya tidak pernah masuk. Saya pikir juga tidak ada manfaat positifnya malah banyak yang tidak baiknya,” ucap Y Silalahi pada Sumut Pos, Sabtu (22/1).
Ya, kita tentunya tidak asing dengan benda bernama buku ini. Meskipun kebanyakan melihat buku hanya sebagai penunjang pendidikan belaka. Setelah menyelesaikan studi, lembaran-lembaran kertas yang berisikan ilmu pengetahuan itu pun terlupakan. Tertumpuk di pojok dan sekat-sekat ruangan.
Terlebih dengan sistem pendidikan yang memungkinkan pergantian kurikulum minimal tiap lima tahun sekali. Bahkan beberapa sekolah menerapkan pergantian kurikulum dalam waktu yang singkat seperti caturwulan, semester, juga tahun pelajaran. Yang memungkinkan tumpukan buku tadi semakin bertambah.
Y Silalahi muda dan masih melajang pun, dulu, mencoba membalikkan hal tersebut dengan memanfaatkan buku-buku pelajaran bekas miliknya sebagai sumber penghasilan. Terlepas dengan kondisi saat itu dimana pekerjaan begitu susah didapat, dirinya tetap membutuhkan strategi agar terus bertahan. “Kalau sekarang ini pergantian kurikulum tidak tentu, jadi kebutuhan buku pelajaran tadi itu pun berubah-berubah. Harus jeli juga melihat peluang buku pelajaran yang kira-kira tetap dicari. Kalau tidak bisa jadi kiloan lah,” tuturnya.
Memang dengan 44 tahun pengalaman di bidangnya, tak sulit bagi penduduk Jalan Pelita II No 36 Medan ini melihat peluang tersebut. Dirinya pun membuat pembagian terhadap koleksi yang dimilikinya. Nah buku-buku pelajaran sosial tetap dipertahankan. Begitu juga dengan buku-buku perguruan tinggi yang tidak memiliki batas masa penggunaan.
Sadar dengan produknya yang berupa buku bekas, Y Sialalahi pun tidak memaksakan nominal kepada pembeli. Sistemnya suka sama suka. “Asalkan cocok kita lepas saja. Yang penting modal tetap berputar. Gak perlu mengharapkan untung besar dari satu buku, biar untung kecil tapi produk kita berganti,” papar bapak dari lima putra-putri ini.
Dengan strategi tadi memang terbilang mampu mencukupi kebutuhan dirinya. Namun ketika berkeluarga, Y Silalahi harus mencari pemasukan lainnya apalagi lima anak dikaruniakan kepadanya. Keuntungan yang terkumpul dari penjualan buku bekas tadi pun dijadikan modal membuka usaha kedai sampah di rumahnya.
Dari dua sumber pencaharian tadi, Y Silalahi tidak hanya membesarkan kelima putra/i juga mengantarkan dua anaknya membangun kehidupan baru. “Dengan kondisi yang susah gini kita harus berani. Makanya anak-anak saya masukkan di kejuruan, khususnya teknik. Jadi setelah tamat tidak sempat nganggur. Hanya si laki-laki nomor tiga yang sempat kuliah diploma III Mesin,” tambahnya.
Saatnya melirik lagi buku-buku yang ada di rumah. Daripada membiarkan tertumpuk kusut di pojok salah satu ruangan, langkah Y Sialalahi cukup menantang untuk dicoba. Bagaimana buku bekas tadi tidak saja menjadi jalan keluar dari sulitnya mencari pekerjaan, membentuk sebuah keluarga, dan memenuhi takdirnya sebagaimana filosofi dalam suku Batak Toba yakni hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. (jul)
—
Beralas Plastik
Y Silalahi merupakan pedagang buku bekas tertua di kawasan Lapangan Merdeka Medan yang dulunya berpusat di Titi Gantung Medan. Kepada Sumut Pos, kakek dengan dua cucu ini berkenan berbagi kenangan.
“Saya mulai itu di umur 23 tahun pada 1967. Mungkin karena baru habis G30 S/PKI saat itu pekerjaan sangat sulit didapat. Kebetulan saya masih menyimpan buku-buku pelajaran waktu sekolah dulu,” kenangnya.
Bermodalkan koleksi yang terbatas dirinya pun bergabung dengan beberapa pedagang buku bekas lainnya di kawasan Titi Gantung. Buku-buku tadi pun hanya dialasi dengan plastik, tanpa meja apalagi lemari berongga.
Namun tanpa pergantian kurikulum seperti saat ini, Y Silalahi pun mendapatkan hasil manis dari buku-buku yang masih menggunakan ejaan lama itu seperti Aljabar dan Alrest. “Waktu itu memang enak lah. Karena pelajar gak perlu ganti-ganti buku dan kita gak perlu takut buku gak laku-laku,” tambahnya. (jul)