Polisi Buru Penyandang Dana Kerusuhan Temanggung
10:18, 14/02/2011TEMANGGUNG- Upaya membongkar kasus kerusuhan di Temanggung tak hanya berhenti pada penangkapan Syihabudin (SYB), selaku dalang alias aktor intelektual. Jajaran Polda Jawa Tengah (Jateng) kini mengejar penyandang dana dalam aksi yang terjadi pascapembacaan sidang penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan, (50) Selasa (8/2) lalu.
“Kami masih melakukan pengembangan. Mudah-mudahan setelah ditangkap provokatornya dapat pula dikembangkan sampai mengetahui penyandang dana dari kericuhan ini,” kata Kapolda Jateng Irjen Pol Edward Aritonang di Mapolda Temanggung kemarin (13/2).
Menurut Edward, polisi belum bisa memastikan siapa donator dalam aksi kerusuhan tersebut. “Sementara belum, kami masih mendalami,” kata Edward. Dia meminta masyarakat bisa memberitahukan kepada polisi terkait informasi aliran dana dalam pembakaran empat gereja tersebut.
Dalam proses penyidikan, polisi telah menetapkan 24 tersangka. Dua orang diantaranya diduga sebagai penggerak massa dan lainnya ikut melakukan perusakan. Mereka yang diduga sebagai penggerak massa adalah Syihuabudin, 46 (warga Dusun Warurejo, Kebonsari, Temanggung), dan Lutfi Hakim Azis, 33 (warga RT 2 RW 6 Parakan, Mandisari, Temanggung). Keduanya kini telah mendekam di Polrestabes Semarang. Sedang 22 tersangka lain dijebloskan di sel Mapolda Jateng.
Sementara itu, Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Temanggung membantah Syihabudin merupakan anggota organisasinya. Juru Bicara FUIB Taufik Hartono mengatakan, Syihabudin memiliki organisasi sendiri di luar FUIB. “Kami tidak tahu menahu mengenai penangkapannya, karena dia bukan bagian dari kami,” kata Taufik Hartono.
Meski demikian, dia membenarkan, FUIB dan organisasi yang diikuti Syihabudin ikut dalam satu forum pengawalan sidang penistaan agama di PN Temanggung. Dalam pengawalan tersebut, kata dia, FUIB mencegah terjadinya aksi anarkis dalam persidangan. Sedang organisasi yang diikuti Syihabudin cenderung bersikap provokatif.
“Itu berbeda, sangat berbeda dengan kami,” jelas Taufik.
Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melihat adanya kesan pembiaran oleh polisi dalam pengamanan saat kerusuhan Temanggung Selasa (8/2) lalu. Kesan ini timbul setelah kompolnas menerima data bahwa polisi lebih mengonsentrasikan kekuatan di PN Temanggung dan Mapolres Temanggung serta tidak mengoptimalkan pengamanan di gereja-gereja.
Anggota Kompolnas Novel Ali mengatakan hal tersebut saat melakukan dialog dengan sejumlah aktivis FUIB Minggu (13/2) sore di gedung Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM). Menurut Novel, pembiaran tersebut adalah bentuk pelanggaran yang harus ditindak tegas.
“Sebab seharusnya polisi melakukan pengamanan masyarakat bukan justru melindungi diri sendiri,” katanya.
Sebab, kata Novel, dari informasi yang didapat kompolnas, pada saat kejadian berlangsung polisi lebih mengkonsentrasikan kekuatannya di gedung Pengadilan Negeri (PN) Temanggung dan tidak membaca akan ada efek samping dari bentrok antara aparat dan massa di PN. Disamping mengkonsentrasikan anggotanya di PN, pembiaran juga dapat dilihat dari minimnya penjagaan di gereja dan ketatnya penjagaan di Mapolres. “Bahkan di mapolres, di depannya ada kawat berduri, sementara di gereja justru sangat lemah,” imbuhnya.
Selain ada kesan pembiaran, dalam kasus kerusuhan pascapersidangan Antonius Richmond Bawengan, juga mengisyaratkan lemahnya intelejen yang dimiliki Polres Temanggung. Lemahnya intelejen sendiri diketahui dari tidak mampunya polisi melakukan langkah antisipasi terhadap tindak kerusuhan. “Itu karena intelejen yang dimiliki tidak bisa bekerja optimal,” tambahnya.
Seharusnya, kata Novel, beberapa hari, bahkan beberapa minggu sebelumnya, polisi sudah harus mengetahui data-data di lapangan, termasuk langkah-langkah yang akan diambil oleh massa. Hal tersebut ternyata tidak dilakukan. “Terbukti dengan polisi tidak menjaga gereja sasaran dengan kuat. Padahal yang saya baca, konflik di PN hanya pengalihan saja,” tambahnya. (zah/jpnn)andasnya.(zah/ton/jpnn)