Penuh Pengertian, Teman Curhat si Bungsu

11:32, 14/10/2009

Syaifuddin dan Syahrir di Mata Saudara dan Tetangga

Sejak 13 tahun lalu, Muhammad Syahrir dan Syaifuddin Zuhri tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya. Kakak beradik itu di Jakarta, sedangkan kedua orang tua dan saudara mereka tinggal di Desa Sampora, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. Meski demikian, Syaifuddin sangat dekat dengan adik-adiknya.

AGUS SUGIARTO, Kuningan

Syaifuddin maupun Syahrir sama-sama lahir dan besar di Jakarta. Kedua orang tua mereka (H Jaelani dan Hj Asenih) menjadi warga Desa Sampora sejak 13 tahun lalu, setelah pensiun dari guru. Saat itu Jaelani memboyong keluarga besarnya dari Jakarta ke Kuningan. Di Desa Sampora itu Jaelani membeli tanah dan rumah. Ketika pindah ke Kuningan, Syaifuddin dan Syahrir tidak ikut. Mereka lebih memilih tinggal di Jakarta. Adik dan kakak itu baru datang ke orangtuanya di Kuningan saat Idul Fitri.

“Itu pun, kalau pulang mereka tak pernah keluar rumah,” kata salah seorang warga yang tinggal di depan rumah Jaelani.
Di Desa Sampora Jaelani tinggal bersama beberapa anaknya. Mereka adalah Sabil Kurniawan, Sucihani, Subhi, dan Ery Djuariyah. Ery sempat mengenyam bangku kuliah di Universitas Kuningan. Namun, dia tak sampai menamatkan kuliahnya karena menikah dengan Amir Abdillah. Amir saat ini ditahan Densus 88 karena terlibat dalam pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Dia berperan sebagai pemesan kamar 1808 yang ditinggali dua pelaku bom bunuh diri Dani Permana dan Nana Ikhwan Maulana.

Pernikahan Ery dan Amir hanya berumur tujuh bulan. Keduanya lantas bercerai.
Dibanding saudaranya yang lain, Ery paling dekat dengan Syaifuddin. Setiap ada masalah yang dihadapi, Ery selalu menumpahkan semua uneg-unegnya ke Syaifuddin.

Sebagai kakak, Syaifuddin juga kerap mendengarkan keluhan adik-adiknya. “Memang Udin (panggilan akrab Syaifuddin di keluarga, Red) paling dekat dengan Ery. Mungkin karena Ery butuh kasih sayang dari kakaknya,” ungkap Sucihani, istri perancang peledakan Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton, Ibrohim.

Di mata keluarga, Syaifuddin dikenal sebagai pria yang penuh pengertian dan selalu berusaha melindungi saudara-saudaranya. Tak heran jika dia sering menjadi tempat curhat bagi adik-adiknya. “Orangnya memang selalu mau mendengarkan keluhan atau unek-unek adik-adiknya. Dia juga sangat sayang kepada Ibu (Hj Asenih),” ungkap Sucihani. “Kalau nelepon, yang selalu ditanyakan pertama adalah kesehatan Ibu. Itu jauh sebelum peristiwa peledakan bom,” tambahnya.

Sucihani mengaku tidak tahu pasti mengapa Udin dan Syahrir bergabung dengan kelompok garis keras. Dia hanya menduga bahwa adiknya (Syaifuddin) mengenal kelompok garis keras saat menimba ilmu di Yaman pada 1996. “Dia itu pintar, terutama masalah agama. Soal kapan dia bergabung dengan kelompok itu (Noordin M. Top), kami sama sekali tidak tahu. Keluarga tidak pernah menanyakan masalah-masalah pribadi. Kalau datang ke Sampora, paling hanya ngobrol ringan. Tak ada pembicaraan khusus lainnya,” terang Sucihani.

Informasi yang diterima wartawan koran ini, Noordin memang cukup dekat dengan Syaifuddin. Saking dekatnya, Noordin sudah menganggap ibu kandung Syaifuddin sebagai ibu kandungnya sendiri. Ketika hal ini dikonfirmasikan ke keluarga Jaelani, mereka lebih memilih menutup diri dan enggan memberikan jawaban.

Jika di mata saudara-saudaranya Syaifuddin adalah pribadi yang hangat, berbeda dengan pengakuan para tetangganya di Desa Sampora. Rata-rata mereka mengaku tidak mengenal lebih dekat soal keseharian Syaifuddin. Apalagi, setiap kali pulang ke Sampora, Syaifuddin jarang bergaul dengan tetangga. Pengakuan itu datang dari Khaerun, yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari kediaman Jaelani.

“Kami di sini (Sampora) kurang begitu kenal dengan Syaifuddin, apalagi dengan Muhammad Syahrir. Sebab, keduanya lebih banyak tinggal di Jakarta. Kalau ke sini, paling setahun sekali. Kalaupun datang, mereka jarang bergaul dengan tetangga. Beda dengan Pak Haji Jaelani dan Bu Haji Asenih. Jadi, kami tidak punya kenangan khusus soal dia. Karena itu tadi, jarang bertemu dan ngobrol,” tandas Khaerun.

Malah tanpa tedeng aling-aling, Khaerun merasa kesal dengan kelakuan Syaifuddin yang membuat nama desanya tercoreng. Akibat perbuatan Syaifuddin dan kakaknya itu, menurut Khaerun, orang menyebut desanya sebagai sarang teroris. “Tak ada kenangan apa pun soal Syaifuddin dan Syahrir. Keduanya bukan warga Sampora. Dan, apa yang diperbuatnya sangat merugikan kami. Dengan meninggalnya dia, semoga nama Sampora tidak lagi dicibir orang,” sebut Khaerun.

Tetangga lain, Karya, mengatakan, dirinya lebih mengenal Syahrir ketimbang Syaifuddin. Sebab, anaknya pernah ikut di rumah Syahrir. Menurut Karya, saat itu Syahrir bekerja sebagai teknisi di sebuah perusahaan maskapai penerbangan. Karena ingin melihat anaknya bekerja, dia menitipkan anaknya kepada Syahrir.

“Tapi, anak saya tidak betah di rumah itu. Mungkin ada sesuatu yang berbeda di keluarga Syahrir, sehingga lebih memilih pulang ke Sampora. Coba kalau saat itu anak saya bertahan di rumah Syahrir, mungkin ceritanya akan lain. Bisa saja anak saya dibawa-bawa,” kata Karya.
Soal Syaifuddin, Karya mengungkapkan, dirinya pernah mengantarnya saat menikah dengan wanita asal Perbutulan, Kabupaten Cirebon. “Saya ikut mengantar ke acara pernikahan. Kan waktu itu Syaifuddin belum apa-apa. Ya, sebagai tetangga, saya ikut mengantarkannya. Apalagi, hubungan Pak Haji dan Ibu Haji dengan tetangga sangat baik. Kalau tahun nikahnya, saya sudah lupa,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani tersebut.

Ditanya soal perilaku Syaifuddin kalau datang ke Sampora, Karya mengatakan tidak ada yang berbeda. “Keluarga itu kalau ngumpul Lebaran saja. Jujur, saya tidak paham semua anggota keluarga Pak Jaelani karena jumlahnya cukup banyak. Paling saya hanya kenal anaknya yang tinggal di Sampora,” ucapnya. (kum/jpnn)

shalat-gaib-teroris

[ketgambar]SALAT GHAIB: Enam lelaki salat ghaib di pemakaman Syaifudin Zuhri  dan M Syahrir kemarin (13/10) //Agung Putu Iskandar/Jawa Pos/jpnn [/ketgambar]


YM

Kata kunci pencarian berita ini:

 
PLN Bottom Bar