Disangka Tilep Dana Tsunami, KPK Tahan Bupati Nias

11:28, 12/01/2011

Semua Harta Syamsul Arifin Diblokir

JAKARTA- Bupati Nias, Binahati B Baeha, yang sudah berstatus sebagai tersangka sejak 16 November 2010, dijebloskan ke Rutan Cipinang, Jakarta, Selasa (11/1). Binahati B Baeha ditahan pukul 16.00 setelah menjalani pemeriksaan di Gedung KPK dari pagi.

Begitu keluar dari gedung KPK, Binahati tidak mau melayani pertanyaan wartawan. Dia mencoba menutupi wajahnya saat kamera wartawan TV dan wartawan foto menyorotnya. Hanya saja, begitu sudah duduk di mobil tahanan yang akan membawanya ke Cipinang, dia sempat mengajukan kalimat protes. “Saya tidak menerima (dana bantuan gempa, Red), kenapa ditahan?” ujarnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP menjelaskan, Binahati ditahan di rutan Cipinang untuk 20 hari ke depan. “Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan tersangka BBB yang kini menjabat sebagai Bupati Nias,” ujar Johan.
Binahati ditahan dalam perkara dugaan korupsi dana bantuan penanggulangan bencana tsunami di Kabupaten Nias tahun 2006. Dia diduga menyalahgunakan dana bantuan gempa dari Kemenko Kesra sebesar Rp9,8 miliar. Dalam perkara ini, KPK menemukan kerugian keuangan negara Rp3,8 miliar. Binahati disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Perkara ini masuk ke KPK setelah ada laporan dari Forum Masyarakat Nias Peduli (Formanispe) dan masuk tahap penyelidikan sejak 3 November 2009.

Harta Syamsul Diblokir

Gerakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus melakukan penyitaan harta Gubernur Sumut Syamsul Arifin adalah bagian dari upaya memiskinkan koruptor. KPK bahkan sudah memblokir seluruh harta mantan bupati Langkat itu, termasuk harta kekayaan anggota keluarganya.

Tim penyidik KPK masih akan terus bergerak menyisir harta apa saja yang secara hukum layak disita, setelah Senin (10/1) menyita rumah yang selama ini ditinggali putri Syamsul, Beby Arbiana dan keluarganya, di  Jalan Siaga Raya No 110 RT 012/RW 004 Pejaten Barat, Jakarta Selatan.

Wakil Ketua KPK Haryono Umar menjelaskan, upaya-upaya penyitaan itu merupakan bentuk keseriusan KPK menyelamatkan uang negara yang dikorupsi. Dengan penyitaan berupa harta benda, kata Haryono, maka nilai uang yang dikorupsi tidak susut seiring dengan berjalannya waktu. “Saya ambil contoh, misal lima tahun lalu yang dikorupsi Rp10 miliar, maka nilai uang itu saat ini sudah tidak lagi Rp10 miliar. Jadi keenakan jika koruptor hanya diminta mengembalikan Rp10 miliar,” terang Haryono Umar kepada Sumut Pos.

Contoh lebih riil disebutkan Haryono. Misal uang hasil korupsi dibelikan tanah dan bangunannya 10 tahun lalu seharga Rp1 miliar, maka harga tanah dan bangunannya itu saat ini harganya bisa lebih Rp5 miliar. Jika koruptor hanya disuruh mengembalikan Rp1 miliar, maka dia masih untung Rp4 miliar. “Sehingga koruptor masih kaya raya, masih bisa enak-enak, uang masih banyak, bisa tidur nyenyak,” ujar Haryono.

Karenanya, ujar Haryono, perlu dilakukan penyitaan terhadap rumah dan tanah yang dibeli dari hasil korupsi, karena nilai jualnya akan setara dengan uang yang dikorupsi beberapa tahun silam.
Khusus kasus Langkat, Haryono mengatakan, upaya pengejaran aset akan terus dilakukan. “Belum berhenti, akan terus kita lakukan, karena KPK punya kewajiban mengembalikan aset-aset negara. Bukan hanya disita, tapi harus bisa masuk kas negara,” terangnya.(sam)


YM

 
PLN Bottom Bar