Merasa Tak Jantan, Terkungkung Lima Larangan
10:51, 30/01/2011Kisah Bupati Pacitan yang Hanya Menjabat 34 Hari
Di Indonesia, mungkin ini baru terjadi di Pacitan, Jawa Timur. Yakni, ada bupati yang hanya menjabat selama sebulan, tepatnya 34 hari.
NOFIKA D. NUGROHO, Pacitan
Umurnya sudah tidak muda, hampir 70 tahun. Di dunia birokrasi dan politik pun, boleh dibilang dia sudah cukup kenyang pengalaman. Itulah sosok H.G. Soedibjo yang saat ini menjabat bupati Pacitan.
Meski hanya menjadi bupati dalam masa jabatan yang sangat pendek (34 hari), bagi Soedibjo hal itu tidak masalah. Dia pun tetap bersemangat menjalankan amanat yang dibebankan di pundaknya.
“Tidak ada yang bisa dilakukan secara istimewa. Biasa-biasa saja dan hanya melanjutkan apa yang ditinggalkann
Pak Yono (H Sujono, bupati Pacitan yang dia gantikan, Red),” kata Soedibjo kepada Radar Madiun (Group Sumut Pos) ketika ditemui di rumah dinas wakil bupati, Jalan Veteran 64, Kelurahan Pacitan, Kamis lalu (27/1).
Sebelum menjadi bupati Pacitan, Soedibjo adalah wakil bupati. Dalam pemerintahan, kakek 10 cucu itu merintis karir mulai menjadi camat, pembantu bupati, wakil bupati, hingga bupati. Dia juga terjun ke dunia politik, menjadi anggota DPRD Jatim periode 1992-1997 dan 1997-1999.
Pada 2006, Soedibjo menjadi wakil bupati mendampingi Sujono hingga masa jabatan 2011. Mereka memenangi pilkada melalui gabungan Partai Demokrat dan Golkar.
Dalam pilkada Pacitan yang dilaksanakan 20 Desember 2010, Soedibjo sebenarnya berniat maju. Tapi, takdir berkehendak lain. Dalam perjalanan mencalonkan diri dalam pilkada tersebut, Soedibjo yang maju melalui jalur Partai Golkar gagal mendapat tiket. DPP Partai Golkar tidak merekomendasikan namanya.
Jika Soedibjo gagal maju dalam pilkada karena tak mendapat tiket, Sujono (incumbent) juga gagal maju karena meninggal sebelum pilkada dilangsungkan. Padahal, sebelumnya dia berencana maju melalui jalur Partai Demokrat. Tapi, kembali takdir berkata lain. Sujono meninggal pada 8 Desember 2010 setelah dirawat di RS Puri Indah, Kembangan, Jakarta.
Meninggalnya Sujono membuat jabatan bupati Pacitan kosong. Sebab, menurut ketentuan, jabatan Sujono-Soedibjo baru berakhir pada 20 Februari 2011.
Saat itulah Gubernur Jatim Soekarwo mengambil langkah untuk mengatasi kekosongan jabatan tersebut. Pada 18 Januari lalu, Soedibjo dilantik menjadi bupati Pacitan. Tapi, masa jabatannya hanya sampai 20 Februari 2011. Mungkin, itu adalah masa jabatan terpendek bupati di Indonesia dan kasus seperti itu bisa jadi baru terjadi di Pacitan.
Bagi Soedibjo, ada perasaan tidak puas dengan jabatan bupati yang disandang saat ini. Bukan karena waktunya yang sangat singkat. Tapi, dia menganggap jabatan tersebut diperoleh secara tidak jantan. “Saya lebih puas kalau bisa bertarung dalam pilkada,” ujar bapak empat anak tersebut.
Meski demikian, dia akan bertekad melaksanakan tugas yang diamanatkan kepada dirinya itu dengan sebaik-baiknya. “Menjadi bupati adalah salah satu ambisi saya, meski gagal maju dalam pilkada,” ungkapnya.
Dia menambahkan, selama menjalankan tugas, dirinya tidak akan terlalu ngoyo atau memaksakan diri. Sebab, dia menilai mustahil bisa melakukan perubahan besar dalam tempo sangat singkat.
Karena itu, suami Sri Mulyati tersebut sengaja memprioritaskan persoalan yang bersifat mendesak. Di antaranya, meringankan derita korban bencana alam. “Pada akhir masa jabatan ini, saya memprioritaskan penanganan pascabencana. Termasuk kondisi kejiwaan korban, mungkin stres dan sebagainya,” terangnya.
Dia juga aktif berkoordinasi dengan Pemprov Jatim untuk mendapatkan bantuan penanganan bencana. Hingga kini, pemerintah provinsi sudah mengucurkan dana Rp 250 juta untuk membantu penanganan bencana alam di Pacitan. “Mudah-mudahan dana susulan cepat turun sehingga dampak bencana segera tertangani,” tambahnya.
Meski mengaku tidak akan terlalu ngoyo, Soedibjo merasa masih ada yang mengganjal selama dirinya menjadi bupati. Hal itu terkait dengan lima instruksi yang disampaikan Gubernur Soekarwo saat melantik dirinya. Lima instruksi yang berisi larangan tersebut adalah: dilarang melakukan mutasi, membatalkan perizinan, mengubah perda, memekarkan wilayah, dan mengambil kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.
Lima instruksi tersebut membuat Soedibjo merasa kurang sreg. Terutama larangan melakukan mutasi. Karena itu, dia pun sudah mengirimkan surat untuk meminta klarifikasi soal lima larangan tersebut. “Hingga hari ini (27/1), surat klarifikasi saya belum dijawab (oleh gubernur),” katanya.
Menurut Soedibjo, instruksi gubernur tersebut dianggap membatasi kewenangannya sebagai bupati. Akibatnya, perannya sebagai orang nomor satu di jajaran Pemkab Pacitan terkungkung. Meski, dia sadar hanya memegang tampuk pimpinan selama 34 hari.
“Tapi secara definitif, saya ini tetap bupati. Yang bisa membatasi adalah menteri dalam negeri. Larangan gubernur itu menimbulkan image bahwa saya tidak berdaya menghadapi gubernur,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, suatu pemerintahan memiliki dasar hukum yang mengatur. Karena itu, surat klarifikasi yang dia kirim ke gubernur tersebut sengaja menanyakan landasan yang digunakan hingga mengintruksi larangan lima hal itu. Jika memang dasar hukumnya jelas, Soedibjo tak berkeberatan melaksanakan lima hal yang diinstrusikan tersebut.
Namun, bupati tetap menjalankan kewenangannya secara penuh bila yang terjadi sebaliknya. Ditanya tentang kemungkinan mutasi pejabat, Soedibyo menyatakan sudah menyusun rumusannya. Dia masih menunggu jawaban dari gubernur sebelum merealisasikannya.
“Saya ngomong seperti ini mestinya iya (sudah ada konsep, Red). Kalau gubernur bisa menunjukkan dasar hukumnya, saya tidak akan melakukan mutasi,” paparnya.
Ketika ditanya rencananya setelah tak lagi menjadi bupati, pria kelahiran Trenggalek, 9 November 1941, tersebut menegaskan tak akan terjun ke dunia politik lagi. “Mungkin saya akan aktif dalam kegiatan sosial saja,” katanya. (jpnn/c5/kum/jpnn)