Tetap Teguh Meski Minoritas, Sebagian Pulang ke Bali

10:20, 17/03/2010
Tetap Teguh Meski Minoritas, Sebagian Pulang ke Bali

Nyepi di Kampung Bali Medan dan Pura Pegajahan Sergai

Meski minoritas, Umat Hindu Bali di Medan dan Sergai bisa melaksanakan perayaan Nyepi dengan aman dan nyaman. Di tengah gencarnya desakan budaya lain, mereka tetap teguh mempertahankan kearifan leluhur dan agama mereka. Seperti apa?

Rudiansyah-Batara, Medan

Sepi, senyap, hening. Inilah kondisi perkampungan Umat Hindu Bali di Medan, Pura Agung Raksa Bhuwana, Jalan Polonia, Medan. Kemarin, Selasa (16/3), merupakan hari raya Nyepi 1932 Saka, hari besar keagamaan bagi ummat Hindu Bali. Di Medan, setiap tahun perayaan Nyepi memang digelar di kawasan itu.

Sama sekali tidak terlihat ada aktifitas. Semua rumah tutup. Tak terdengar  ada suara apapun. Suara musik, TV atau radio, yang biasa terdengar dari setiap rumah warga, kemarin, sama sekali tak terdengar. Setelah sehari sebelumnya menggelar ritual, kemarin, semua warga Hindu Bali di Medan memang berdiam diri 24 jam penuh di rumah masing-masing.

Mereka menjalani empat larangan, masing-masing Amati Geni (tidak menyalakan api/lampu), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelangan (tidak mengadakan hiburan).

Suasuna Pura Agung Raksa Bhuana juga tidak seperti sehari sebelumnya yang tampak ramai. Kemarin, terlihat sepi dari kegiatan ritual.

Pura yang baru direnovasi dengan mendatangkan batu-batuan dan beberapa patung langsung dari Bali itu, kondisinya benar-benar senyap. Di berbagai sudut pura masih terpajang beberapa sesaji buah-buahan yang diletakkan dalam anyaman bambu

Sehari sebelumnya, pura ini ramai. Ratusan warga Hindu Bali yang ada di Medan bersembahyang di pura ini mulai pukul 17.00 hingga malam. Sembahyang tersebut langsung dipimpin pendeta, Wayan Sutantre. Pura Agung Raksa Bhuana yang berukuran lebih dari 100 meter persegi itu baru sebulan dipugar. Untuk memugar pura itu dana dihimpun melalui swakelola dari warga dan bantuan pemerintah.

”Nyepi dirayakan setiap tahun sekali. Saat ini sudah 1932 tahun. Pertama kali dirayakan di India 21 Maret 79 Masehi, setahun setelah dinobatkannya Raja Kaniska I dari Dinasti Kusuma, suku Bangsa Saka sebagai Raja di India,” kata Ketua Suka Duka Dhirga Yusa Medan, Drs I Gusti Ngurah Made Pastika.

Menurut Pastika, keberhasilan Kaniska I memimpin India dengan mengubah cara perjuangannya tidak melalui politik namun dengan pendekatan budaya. ”Beliau berhasil mempersatukan India dan diperingatilah kejayaan itu dengan merayakan Tahun Baru Saka yang kemudian dikenal sebagai Tahun Saka di India. Sedangkan di Indonesia dikenal dengan Hari Raya Nyepi,” tegasnya.
Dia bilang, di antara rangkaian perayaan Nyepi adalah Mekiis, yakni penyucian diri dengan air yang bersumber dari mata air atau laut. Tujuannya untuk menyucikan pratima atau arca dan alat-alat upacara. “Acara ini sudah dilakukan Minggu (14/3) di Pantai Cermin yang mengandung makna penyucian Alam Semesta (Bhuana Agung) dan Bhuana Alit (Diri Kita Sendiri),” kata Pastika.
”Nyepi dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh keliling desa sebagai simbolis menetralisir kekuatan Bhuta Kala (kekuatan jahat, red). Dalam ajaran Agastya Parwa ada disebutkan Bhuta Yadnya Ngaranya Tawur Kapujaning Tuwuh, yakni persembahan untuk  kesejahtaraan mahluk,” ucapnya.
Untuk tingkat Tawur yang dilaksanakan di Pura Raksa Bhuana adalah tingkatan Panca Sata caru dengan binatang korban berupa lima ekor ayam yang penempatanya sesuai dengan arah mata angin yang mengandung makna menjaga keseimbangan alam semesta.

”Nyepi atau Sipeng dilakasanakan dengan catur Brata penyepian, yaktu empat larangan atau Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan dan Amati Lelangan,” tegasnya. Keempat larangan tersebut dapat mewujudkan suasana sepi sunyi senyap atau sipeng. Inilah yang dimaksud dengan memulai dari titik awal. Saat yang diharapkan untuk merenung, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan selama setahun dan apa yang akan dilakukan ke depan.

Sementara itu, dalam prosesi upacara di Pura Agung Rhaksa Bhuana diiringi dengan musik tradisional khas Bali yang dibawakan lebih dari 10 orang pemain laki-laki.

Sedangkan kaum ibu-ibu dan remaja putri membawa sesaji makanan dan buah-buahan, dan uang recehan yang diletak di dalam baki yang terbuat dari anyaman bambu.

Prosesi upacara sembahyang Nyepi juga dihiasi dengan hiasan janur yang terbuat dari bambu yang diisi dengan minyak tanah untuk dijadikan obor pada saat acara berlangsung. Upacara tersebut dilakukan lebih dari 2 jam yang diakhiri saat menjelang maghrib.

Nyepi di Pura Pegajahan Sergai
Sementara itu, meski tinggal 10 KK, warga keturunan Hindu Bali di Pura Pegajahan, Serdang Bedagai (Sergai), mereka tetap merayakan Nyepi dengan khidmat. Sebagai warga pendatang yang terpisah jauh dari Pulau Bali, I Neagah Sumandi Yase (62) tetap mentaati seluruh ritual perayaan Nyepi. ”Puasa selama 24 jam juga, tapi boleh tidak dilakukan oleh anak-anak,” katanya.
Sementara di rumah I Wayan Gio (51), pemangku Pura Panataran Dharmaraksaka, kondisi serupa juga terasa. “Umat Hindu Bali, saat nyepi melakukan semedi atau melakukan meditasi, sembari memanjatkan doa terhadap sang pencipta,” terang Wayan Gio.

Bahkan, seisi penghuni rumahnya meliputi anak serta istrinya tidak melakukan aktifitas. Selain berdoa dan meditasi, biasanya kegiatan hari raya Nyepi dilakukan dengan berdiam diri di rumah. ”Dirumah berkumpul bersama sanak keluarga tidak melakukan kegiatan apapun. Bahkan bila tamu datang berkunjung tidak boleh disugukan air minum,” terangnya.

Kehadiran warga keturunan Hindu Bali di Desa Pegajahan bermula dengan dibukanya program buruh kontrak sekitar tahun 1963 untuk ditempatkan di perkebunan PTPN III di Kebun Melati, Kabupaten Serdang Bedagai.

Sekitar 63 kepala keluarga (KK) warga keturunan Hindu Bali didatangkan dari Pulau Bali sebagai buruh perkebunan. Namun, 63 KK buruh kontrak tersebut dibagi dua, pertama terdiri dari 32 KK berada di Pondok Agung, serta 31 KK ditempatkan di Pondok Bali, Desa Pegajahan.

Masa kontrak kerja pertama mereka sekira 6 tahun. Setelah selesai kontrak pertama ada yang kembali Bali. Tetapi ada delapan kepala keluarga pemperpanjang kontrak keduanya (tiga tahun, red). Kemudian diberikan kesempatan untuk bermukim di perumahan milik perkebunan PTPN III.
Kedelapan Kepala Keluarga itu adalah penghuni Kampung  Bali, sedangkan Pondok Agung atau Kampung Agung ditinggal pergi penghuninya. ”Mungkin  warga yang melepaskan kontraknya, rindu kampung halaman. Padahal di sana lahan pertanian mulai berkurang, tetapi itu pilihan mereka,” bebernya Wayan Gio.

Kemudian seiring perubahan waktu, warga keturunan Hindu Bali bertambah menjadi sepuluh kepala keluarga. ”Tambahan dua kepala keluarga lagi, berasal  dari anak warga keturunan Hindu bali yang telah menikah, selain menetap di sini, tidak jarang yang pulang ke Pulau Bali,” tambahnya. Meski minoritas, Wayan Gio mengaku, warga keturunan Hindu Bali tetap teguh mempertanhkan akar budaya serta agama Hindu. (*)

[ketgambar]BERDOA: Umat Hindu melakukan ritual sambil berdoa di Pura Agung Raksa Bhuwana Jalan Polonia Medan kemarin (15/3)//andri ginting/sumut pos[/ketgambar]


YM

Kata kunci pencarian berita ini:

 
PLN Bottom Bar