Dulu Pegang Senpi, Kini Pegang Cangkul

09:51, 08/02/2011
Dulu Pegang Senpi, Kini Pegang Cangkul
TANAM SAYUR: Surya (bertopi) dan Sri Wahyudi sedang mengurus tunas-tunas sayur di rumah kaca. //Agung Putu Iskandar/Jawa Pos/jpnn

Ketika Para Remaja ’Rentan’ Se-Indonesia Diajari Ilmu Bertani

Di Cianjur, Jawa Barat, para remaja “rentan” diajari ilmu bertani di lahan khusus. Disebut “rentan” karena mereka tumbuh di lingkungan yang tak normal. Mulai anak jalanan, korban konflik atau bencana alam, hingga bekas anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

AGUNG PUTU ISKANDAR, Cianjur

Lahan itu disebut Perkebunan Maleber. Terletak di kaki Gunung Gede, Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tepatnya sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut. Di tempat itulah program yang diberi nama Learning Farm dijalankan.

Sesuai dengan namanya, para peserta yang ikut diajari ilmu bertani secara organik alias tanpa bahan-bahan kimia.
Ketika Jawa Pos (grup Sumut Pos) berkunjung ke sana Rabu pekan lalu (2/2), dua remaja sibuk di dalam ruang kaca. Ruang tersebut berada di lahan Perkebunan Maleber. Mereka adalah Sri Wahyudi, 20, dan Surya, 19. Mereka bahu-membahu bekerja. Wahyudi membawa keranjang berisi tunas-tunas selada dan brokoli. Sementara itu, Surya mengambil beberapa tunas, kemudian menanamnya.

“Kalau sudah agak besar, tunas dipindah ke kebun di luar,” terang Surya sambil menunjuk kebun di luar rumah kaca. Di kebun itu, sebagian sayur-mayur yang ijo royo-royo sudah besar. Mulai sawi, sawi putih, selada, kangkung, brokoli, hingga tomat.

Sejauh mata memandang, kebun tersebut dipenuhi sayur-mayur. Ada juga jagung. “Yang nggak ada di sini cuma sayur ganja,” kata Johan Purnama yang menjabat direktur Learning Farm, lantas terbahak.
Lokasi Perkebunan Maleber hanya beberapa kilometer dari kawasan Cipanas. Karena itu, cuaca, kondisi tanah, dan curah hujan di sana sangat mendukung untuk berkebun. Dari Jakarta, jalur transportasi melewati Cisarua, Bogor, dan kawasan Puncak.

Sudah sekitar empat tahun Learning Farm dijalankan dengan bertempat di perkebunan milik pengusaha Arifin Panigoro itu. Luas perkebunan tersebut sekitar 130 hektare. Learning Farm dipinjami lahan seluas 3 hektare oleh Arifin sebagai tempat pelatihan.

Perkebunan tersebut sejatinya juga tempat yang diproyeksikan sebagai pusat pelatihan sepak bola, seperti yang digagas Arifin. Bahkan, beberapa ruang lapang di sekitar Learning Farm pernah digunakan untuk pelatihan wasit Liga Primer Indonesia (LPI). “Wasit-wasit LPI dilatih di situ, tuh,” kata Johan sambil menunjuk taman seluas tiga kali lapangan voli di depan guesthouse.

Fasilitas yang disediakan di areal perkebunan tersebut juga komplet. Di perkebunan itu, terdapat guesthouse yang digunakan seperti asrama bagi peserta sekaligus tempat pelatihan indoor. Juga ada kandang kambing untuk berlatih membuat pupuk cair, kandang ayam, hingga rumah kaca.

Para peserta Learning Farm atau Karang Widya menjalani pendidikan dasar tiga bulan plus tiga bulan lagi pendidikan tingkat lanjut.

Para fasilitator di Learning Farm adalah relawan. Mereka berasal dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan lulusan perguruan tinggi. “Kami yang ada di sini semua orang “gila?. Yang mau sibuk beginian hanya orang gila,” ucap lelaki 50 tahun itu. Para peserta pun bukan kalangan biasa. Umumnya, mereka berusia remaja, mulai anak jalanan, korban konflik atau bencana alam, hingga bekas milisi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka berasal dari hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai Aceh hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Misalnya, Bahagia. Remaja 20 tahun bertubuh kekar itu merupakan salah seorang peserta yang direkomendasikan Fajar Hidayah, sebuah LSM dari Aceh. Bahagia mengaku senang bisa terlibat dalam kegiatan Learning Farm. “Saya dulu dua tahun di hutan pegang senjata. Sekarang di sini pegang cangkul,” katanya lantas terkekeh.

Setelah pendidikan di Learning Farm rampung, dia berharap bisa membuka lahan pertanian di Aceh. Apalagi dirinya sudah menguasai ilmu bertani. Namun, Johan menuturkan, Bahagia baru saja mendapat beasiswa untuk kuliah di Malaysia. “Setelah kuliah, baru buka sawah,” kata Johan lantas tertawa.

Lain lagi dengan Ambrosius Sobral Lebre. Lelaki yang karib dipanggil Ambro itu merupakan korban konflik Indonesia-Timor Leste. Sejatinya, keluarga Ambro ingin menjadi WNI (warga negara Indonesia) saat referendum pada 1999. Namun, ketika hendak hijrah ke wilayah Indonesia, orang tua Ambro berubah pikiran.

Ambro lantas berpindah ke Indonesia bersama paman yang memiliki 12 anak. “Saya jadi anak ketiga belas,” ungkap remaja 22 tahun berambut keriting tersebut lantas terbahak. Bersama sang paman, Ambro kemudian tinggal di Semarang dan mendapat kewarganegaraan Indonesia, meski prosesnya sangat ribet.

Di Semarang itulah Ambro direkomendasikan sebuah LSM untuk ikut Learning Farm. Dia baru bergabung pada awal Januari lalu. “Sejauh ini saya senang walaupun masih sebulan berjalan,” ujar lelaki jangkung itu.

Johan menuturkan, bukan tanpa alasan bertani organik dipilih sebagai media utama untuk melatih mereka. Bertani merupakan pekerjaan yang sangat bergantung pada alam. Para peserta harus bersabar dan telaten mengurus tanaman. Jika tidak, mereka terancam gagal panen dan bangkrut.

Bertani juga bisa menjinakkan sisi liar para remaja “rentan” tersebut. Mereka yang biasanya hidup di jalanan, kata Johan, cenderung emosional dan temperamental. Dengan bertani, sisi-sisi liar mereka bisa berkurang sedikit demi sedikit.

Apalagi bertani organik. Dalam bertani model demikian, ungkap Johan, tantangannya begitu berat. Sebab, mereka tidak boleh menggunakan bahan-bahan kimia. Semua harus berbahan alami.

Pestisida, misalnya. Zat cair pembunuh serangga itu, kata dia, bisa dihasilkan dari ramuan bawang dan kacang-kacangan. Pemberiannya juga tidak bisa sembarangan. Harus rutin diberikan sejak usia-usia tertentu pada tanaman.
Pola penanaman juga diatur. Mereka dilarang menanam satu jenis tanaman di lahan yang sama dalam waktu lama. Sebab, hal tersebut akan membuat hama lebih mudah menyerang. Selain itu, beberapa tanaman harus “dijodohkan”. Misalnya, antara brokoli dan selada hijau.

Bertani organik, jelas Johan, juga harus mampu membaca tanda-tanda alam. Para remaja petani itu pun harus mampu beradaptasi dengan situasi cuaca yang terus berubah. “Mereka tidak boleh membatu. Harus mampu kompromi dengan situasi,” tegasnya.

Hasil dari bertani organik tersebut, kata dia, dijual ke masyarakat. Baik via online maupun melalui link-link mereka. Uang hasil penjualan tersebut kemudian digunakan lagi untuk kegiatan serta biaya hidup mereka selama pelatihan. “Kalau duit hasil jual sayur organik untuk saya sendiri, bisa kaya saya,” ujar Johan lantas tertawa.

Pendanaan Learning Farm, jelas dia, murni berasal dari swasta. Sebelum pelatihan dimulai, mereka menghubungi sejumlah sponsor, baik dari korporasi maupun personal. Dia menjamin bahwa dana yang digunakan tidak berasal dari partai maupun pemerintah. “Kami murni dari kepentingan politis,” tegas Johan yang pernah aktif di FAO (Food and Agriculture Organization), badan pangan dan pertanian PBB, tersebut.

Learning Farm, kata Johan, membuka kemungkinan bagi peserta untuk bekerja. Selain di sektor pertanian, pikiran mereka bisa terbuka untuk berwirausaha. Terkadang, ada beberapa kolega para fasilitator yang mempekerjakan mereka di kebunnya. “Sebagian besar lulusan di sini berguna,” ungkap Johan. (jpnn)


YM

 
PLN Bottom Bar