Bangun Peradaban Asia Tenggara
14:58, 23/08/2009Suami Inayati SPdI dan ayah dari Alfian Arbie Harahap, Najwa Amelia Harahap dan Rizka Amelia Harahap ini merupakan cendikiawan muslim. Melalui forum kerja sama perguruan tinggi Islam se-Asia Tenggara dan berbagai organisasi yang diikutinya, Syahrin ingin membawa generasi muda Islam bangkit di Asia Tenggara dengan membangun peradaban masyarakat yang lebih baik di masa mendatang.
YAHRIN Harahap merasa bersyukur sebab keinginannya untuk menjadi seorang profesor semasa kecil dapat diwujudkan. Kepada wartawan Sumut Pos, Deddi Mulia Purba di Medan, Jumat (21/8), Rektor Universitas Al-Washliyah (Univa) yang juga menjabat Chairman Southeast Asia Islamic Higher Education Forum ini bercerita mengenai kehidupan masa kecil dan obsesi masa depan.
Bagaimana masa kecil Anda?
Saya dilahirkan di sebuah desa menurut ukuran semasa itu merupakan desa terpencil di Padang Lawas Utara yang dulunya masuk wilayah Tapanuli Selatan karena belum terjangkau alat transfortasi. Di sana, masih banyak masyarakat yang mempergunakan sepeda. Saya dibesarkan dalam tradisi desa.
Saya berbahagia karena orangtua tamatan madrasah aliyah di Padang Panjang yang saat ini menjadi kepala desa selama 25 tahun. Di samping itu, orangtua juga bekerja sebagai petani sehingga kami akrab dengan dunia pertanian. Pagi sekolah, sore saya bersama dengan orangtua bertani di sawah dan ladang. Ketika saya sudah bisa bekerja secara mandiri, saya pun ikut menderes karet.
Karena orangtua mengenyam pendidikan agama yang kuat, saya pun diajari pendidikan agama yang kuat juga. Belum lagi saya sekolah dasar, orangtua sudah sering membacakan ayat-ayat suci Al-Quran ke telinga sebelum Salat Subuh. Kelas IV SD, saya sudah masuk pesantren Islamiah Napabarbara. Pagi belajar sekolah formal dan setelah itu tanpa singgah ke rumah langsung ke pesantren. Selesai SD negeri di Batu Kampun, Gunung Tua saya sudah tamat tsanawiyah di pesantren.
Apa cita-cita yang ingin diraih?
Sejak kecil saya sering mendengar bahwa profesor itu merupakan orang hebat serta dihargai dan dihormati masyarakat. Makanya saya sejak kecil ingin menjadi profesor. Alhamdulillah, banyak orang yang bercita-cita jadi A ternyata jadi B. Saya bersyukur bisa mewujudkannya. Untuk meraih impian itu dilaksanakan dalam suasana memprihatinkan karena keterbatasan biaya kuliah. Akhirnya berkat rahmat Allah, saya diberikan kesempatan menjadi guru besar tersebut.
Bagaimana Anda mewujudkan cita-cita tersebut?
Saya melanjutkan pendidikan madrasah aliyah di Padang Sidempuan dan kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara. Di IAIN, S-1saya pada Ilmu Perbandingan Agama sedangkan S-2 dalam bidang pemikiran Islam dan S-3 mengambil spesifikasi pemikiran Islam kontemporer.
Saat dikukuhkan menjadi guru besar IAIN Sumut dengan menyandang gelar profesor ini, saya mengambil penelitian mengenai kontribusi Islam Asia Tenggara bagi perkembangan global. Saya melihat Islam untuk masa depan, Asia Tenggara akan menjadi pusat peradaban. Saya kaji apa yang bisa disumbangkan Islam Asia Tenggara kepada dunia.
Dari penelitian itu, saya menemukan beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh Islam Indonesia terhadap Islam dunia. Di antaranya kearifan pluralitas dimana Islam Indonesia dapat memberi kontribusi kepada dunia melalui tradisi kerukunan. Ini merupakan kearifan lokal yang dimiliki dan menjadi andalan bangsa Indonesia.
Hal lain berupa kelembutan. Islam Asia Tenggara akan memberikan kontribusi kepada dunia sehingga dapat menjadi pusat peradaban dunia. Jika Asia Tenggara menjadi pusat peradaban Islam maka Islam dunia akan lebih ramah. Kalaupun muslim Asia Tenggara terlibat dalam kekerasan, sebenarnya bukan sifat asli. Kondisi ini terjadi akibat pengaruh dari luar seperti dari Afrika, Timur Tengah dan lain-lain.
Islam Asia Tenggara lembut karena tidak ada tradisi yang menunjukkan kekerasan. Selain itu, Islam masuk ke Asia Tenggara tidak melalui peperangan. Islam Asia Tenggara merupakan Islam naturalistik dengan kesadaran terhadap lingkungan yang dalam. Karenanya, Islam Asia Tenggara tidak bisa dituding sebagai bagian dunia yang tidak bisa menghormati dan melestarikan ekosistem.
Setelah menjadi guru besar, apa yang Anda rasakan?
Ternyata menjadi seorang cendikiawan itu, banyak tantangan. Banyak hal yang meminta konsistensi kita. Misalnya, ketika diminta berpendapat terkadang pendapat kita dianggap tak sesuai dengan arus zaman. Tapi menurut kita, hal itu benar. Oleh karenanya, kepada setiap cendikiawan itu diminta untuk memberikan pendapatnya secara jeli, jels dan tegas. Di samping itu, tidak melihat apa yang akan menjadi akibat atas pendapat yang disampaikan tersebut.
Seorang cendikiawan itu harus konsisten dan istikomah. Saya tak bisa merinci hal tersebut karena menjadi hal yang sensitif. Bisa masalah politik, antar-agama dan lain-lain. Kita harus menegaskan sikap kita yang tak populer sebagai konsekwensi sebagai cendikiawan Muslim dan guru besar yang harus bersikap dewasa. Jangan karena pengaruh materi dan pragmatisme membuat idealisme tidak terjaga dengan baik dan berupaya menjaga itu semampu saya.
Menjadi cendikiawan haruskah berpihak. Sebab Anda pernah menjadi semacam ‘tim sukses’ dalam politik meski berada di belakang layar?
Tim sukses secara langsung, saya memang tidak ikut. Namun pendapat dan pikiran sering diminta untuk beberapa hal. Tetapi keberpihakan dan objektivitas tadi ada batasan. Kita tidak bisa 100 persen tak memihak.
Namun keberpihakan tadi tidak boleh didasarkan pada kepentingan orang atau kelompok. Keberpihakan itu terhadap kebenaran sesuai keyakinan dan pemahaman kita. Selain itu keberpihakan jangan sampai membuat kita terpenjara. Jikapun saya sering memberikan pendapat pada kelompok dan orangtua tertentu karena meminta pemikiran kita. Bisa dimanfaatkan siapa saja untuk tujuan yang benar.
Anda memilih konsentrasi dalam pemikiran Islam. Kenapa demikian?
Dalam Islam itu ada ilmu umul Quran, tafsir, akidah dan fiqih yang secara metodologi, perkembangan itu tidak sejajar dengan dinamika perkembangan umat manusia. Tetapi ada suatu disiplin ilmu yang senantiasa meng-update cara beragama umat Islam agar senantiasa bisa memimpin zaman yakni ilmu pemikiran Islam. Hal ini pula yang memanggil minat saya untuk menekuninya. Sehingga dalam pemikiran yang saya kembangkan dalam berbagai hal dapat menarik benang merah bagaimana meng-update cara beragama tersebut.
Anda pernah menjadi pimpinan di kampus negeri dimana saat ini menjadi rektor di perguruan tinggi swasta. Apa perbedaan yang Anda rasakan?
Alhamdulillah, saya pernah menjadi unsur pimpinan di perguruan tinggi Islam negeri di IAIN Sumut yang mendapatkan sokongan dana dari pemerintah. Gerakan, kegiatan dan program kerja ini telah memperoleh dana dari pemerintah. Kondisi ini tak memusingkan pengelola kampus namun memiliki efek negatif menghilangkan kreativitas.
Oleh karenanya, saya berbahagia dapat diberikan kesempatan untuk menjadi Rektor Univa.
Karena di sini, kreativitas, apresiasi dan inovasi harus bisa dijalankan agar perguruan tinggi yang kita pimpin itu bisa bergerak lebih maju sesuai dengan visi dan misinya. Saya lebih banyak tidur saat menjadi unsur pimpinan di perguruan tinggi negeri dibandingkan swasta.
Benar yang digariskan Tuhan bahwa orang yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan ganjaran. Saya menikmati dengan segala kesibukan yang terjadi apalagi teman-teman di Univa memiliki antusiasme yang baik mengantarkan kampus ini menjadi pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis Islam dari para cendikiawan dan ulama di Sumut.
Kampus ini memiliki potensi untuk maju dan modern karena pengalaman dan komunitas yang besar. Bukan karena dimiliki orang Islam dan ada Fakultas Islam, tapi karena ilmu yang dikembangkan secara absiologis harus berbasis Islam.
Mengenai jabatan, ada hal unik. Sebab belum ada jabatan saya yang berakhir sesuai periode masa jabatan. Belum habis di satu jabatan, sudah mendapatkan jabatan baru. Ketika menjadi pembantu rektor III IAIN Sumut dihunjuk saat menjadi dekan.
Menurut Anda, apa tiga hal yang perlu diperbaiki dalam membenahi pendidikan di Sumut?
Pertama masih dalam koridor metodologis dimana modernisasi pendidikan menyangkut penyelenggara sistem pendidikan harus dilaksanakan secara konsisten.
Yang kedua, perlu membina kemampuan tenaga pendidik karena banyak yang pintar tapi tidak cerdas sehingga bisa membimbing anak didik untuk memiliki pengetahuan juga kecerdasan penerapan dan menyikapi hidup secara terdidik. Kondisi ini terjadi karena banyak dosen dan guru yang nyambi dimana mengajar tidak dijadikan bagian utama. Ada karena faktor pragmatis dan materialisme pengumpulan harta secara tidak profesional di luar aktivitas pendidikan.
Faktor ketiga adalah sarana dan prasarana. Belum ada pilot project lembaga pendidikan lain. Pemerintah harus melakukan perbaikan dengan membuat pilot project pendidikan modern. (*)
Ceramah Ramadan Live di Radio
DIBALIK kesibukan Prof Dr Syahrin Harahap MA dalam menjalani profesi sebagai tenaga pendidik, ia tak melupakan pembinaan keluarganya. Bagi suami Inayati SPdI ini pendidikan ketiga anak-anaknya yakni Alfian Arbie Harahap, Najwa Amelia Harahap dan Rizka Amelia Harahap menjadi kunci kesuksesan.
Tak heran sikap keras dan moderat yang diterapkan orangtua Syahrin Harahap untuk pendidikan, juga diterapkannya kepada buah hatinya. Dari didikannya itu, anak sulung, Alfian Arbie Harahap juga ingin menjadi guru besar dimana saat ini sedang kuliah strata 2 di pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dua anak lainnya yakni Najwa Amelia Harahap dan Rizka Amelia Harahap masih menjadi siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Medan dan siswa SD Centre Medan. ‘’Anak pertama saat ini kuliah di IPB dimana punya obsesi melebihi prestasi orangtuanya menjadi guru besar. Ia juga mendapat pengkaderan Islam yang baik dan bangga karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga alumni IPB,’’ terang Syahrin yang sering menulis buku tersebut.
Sedangkan anak kedua ingin masuk Fakultas Kedokteran yang Islami seperti di Universitas Islam Negeri Jakarta. Anak paling kecil masih di sekolah dasar. ‘’Saya memang rasakan sibuk terutama setelah menjadi ketua Forum Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam se-Asia Tenggara yang menaungi 67 kampus yang terakhir menggelar pertemuan di Thailand,’’ terangnya.
Ia menambahkan, dirinya kini banyak meninggalkan keluarga untuk urusan-urusan akademik dan keilmuan. ‘’Alhamdulillah semua berjalan dengan baik karena mereka dapat memahami. Ini bagian tugas merintis agar Asia Tenggara menjadi satu pusat peradaban dunia,’’ katanya.
Dalam membina keluarga, Syahrin menerapkan pola sintetik dengan menggabungkan nalar dan kolbu hati agar anak-anak jalan otaknya, jalan nalarnya dan jalan rasionya tanpa mengabaikan hati nurani. Ia juga sering mengajak anak-anak untuk olahraga termasuk renang secara bersama dan rekreasi.
Guru Besar IAIN Sumut dan Ketua Dewan Pembina Pengurus Besar (PB) Al-Washliyah ini juga memiliki obsesi meski berdomisili di Medan, tetap ingin menjadi tokoh nasional. ‘’Saya ingin membiasakan dan menyediakan diri untuk memikirkan negeri ini seperti menjadi menteri bahkan lebih itu.
Mengenai kegiatan saat Ramadan, Syahrin mengaku selalu dilewati dengan menulis buku sehingga seperti sebuah kewajiban. Hingga kini, saat melalui Ramadan sudah menghasilkan 23 buku.
‘’Kita juga melaksanakan konsolidasi terhadap umat dengan mendatangi sentra Islam dan remaja untuk mengajak berdiskusi untuk kemajuan masyarakat dan bangsa,’’ terangnya.
Bapak tiga anak ini juga sedang menyusun tafsir Al-Quran yang dilengkapi komentarnya mengenai Islam. ‘’Ramadan selain secara formal harus puasa juga meningkatkan kualitas keimanan. Kualitas kerja di bulan Ramadan harus dapat ditingkatkan kebatinan dan spritualnya. Satu hal lain yang dilakukan selama Ramadan dengan menyampaikan ceramah agama melalui pengajian radio baik rekaman dan siaran langsung. Ini sudah dilakukan bertahun-tahun,’’ imbuhnya. (*)