Pendidikan Karakter
10:16, 27/01/2011Dunia pendidikan kini telah banyak terbius oleh berbagai ajaran-ajaran maupun dogma-dogma dari luar negeri yang diajarkan baik dalam pendidikan forma, non-formal maupun informal.
Kita tidak menyadari bahwa banyak dogma ataupun ajaran tersebut tidak sesuai dengan budaya negeri ini. Padahal negeri kita telah memiliki sejumlah tokoh pengajar dan pendidik yang luar biasa, salah satunya adalah pengajaran bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.
Bila dicermati, berbagai persoalan social yang terjadi sekarang adalah akibat lemahnya sikap toleransi antar sesama masyarakat, menurunnya wibawa pemerintah karena berbagai kebijakannya yang dianggap tidak pro rakyat, melemahnya peranan norma dalam mengatur ketertiban masyarakat hingga ketidak percayaan terhadap hokum. Semuanya itu memunculkan berbagai perilaku perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama.
Banyak kalangan yang akhirnya bertanya ”Apa yang salah dengan pendidikan nasional sehingga belum berhasil membangun karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945, dan UU NO. 20 Tahun 2003?”.
Membuat orang berkarakter adalah tugas pendidikan. Esensi pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter.
Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianut, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat manusia (HMM). HMM yang mengandung nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang menjadi basis pendidikan. Dalam hal ini, paradigma pendidikan yang dikembangkan dan diimplementasikan adalah memuliakan kemanusiaan manusia, yang mana kemanusiaan manusia adalah HMM itu sendiri.
Pendidikan terwujud melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran ini terjadi tidak hanya sekedar pada tahap transfer pengetahuan (knowledge) semata, melainkan juga pada tahap transfer keterampilan (skill) hingga pada tahap transfer nilai-nilai (values) yaitu nilai-nilai kehidupan pada umumnya dan nilai-nilai spiritual keagamaan. Tahap inilah yang pada akhirnya mengarah kepada pembentukan karakter (character). Pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan karakter.
Proses pembelajaran yang bermuatan pendidikan karakter itu dapat kita implementasikan dari ajaran pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Trilogi Pendidikan yang diajarkannya, yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan Trilogi pendidikan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).
Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata, sehingga tidak memiliki idealisme menjadi seorang pendidik. Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri.
Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Aktualisasi ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter bangsa, sudah sangat mendesak diterapkan.
Kalau itu dilakukan, Indonesia akan bebas dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk, dan lainnya, yang kesemuanya itu disebabkan lemahnya system pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia.
Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah jadi bangsa berkarakter tinggi. (habis)