Reposisi dan Revitalisasi Peran Guru
09:54, 10/01/2011Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sebagai akumulasi respon terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini serta pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Hal ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional.
Untuk kepentingan itulah pemerintah mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang pada hakekatnya merupakan penguatan terhadap kebijakan kurikulum sebelumnya. Upaya penyempurnaan kurikulum ini dilakukan guna mewujudkan peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan budaya.
Dilihat dari teknis pelaksanaannya, KTSP memudahkan guru dalam menyajikan pengalaman belajar. Hal ini karena sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together).
Harus dipahami, pendidikan merupakan produk dari masyarakat. Dalam pengertian dimaksud, pendidikan sudah dimulai sejak seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan eksternal di luar dirinya, yakni keluarga. Barulah kemudian, setelah cukup usia, individu juga dididik dalam lingkungan sekolah. Menurut Webster (dalam Hasbullah, 1999), sekolah merupakan tempat atau institusi/lembaga yang secara khusus didirikan untuk menyelenggarakan proses belajar-mengajar dan pendidikan. Sebagai institusi, sekolah adalah tempat mengajar murid-murid, melatih serta memberi instruksi-instruksi tentang suatu lapangan keilmuan maupun keterampilan tertentu kepada peserta didik.
Demi mengoptimalkan capaian proses pembelajaran, guru dituntut mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang mempunyai kewibawaan dan otoritas tinggi, guru harus bisa menguasai kelas serta mengontrol anak didiknya. Namun, guru juga mesti bisa menjaga supaya tidak timbul jarak sosial yang terlalu senjang dengan anak didik.
Guru seharusnya bisa menimbulkan suasana nyaman dalam berhubungan dengan anak didik, sehingga mereka leluasa menimba ilmu dan mengembangkan potensinya. Kesalahan terbesar seorang guru adalah bila anak didik merasa takut terhadap sikapnya yang kasar dan kerap menerapkan disiplin secara berlebihan. Bukankah lebih baik bila anak didik menyegani seorang guru karena kecakapan serta pengetahuannya ketimbang faktor-faktor lain ? Ini agar tidak timbul persepsi negatif dalam benak anak didik.
Paulo Freire, tokoh pendidikan terkemuka, menawarkan sistem hadap-masalah (problem-posing education) untuk mengubah pola pembelajaran ke arah yang lebih baik dan manusiawi. Dalam sistem ini, Freire menekankan metode pendidikan yang disebut “pendidikan dialogis” di mana terdapat suatu dinamika dialektik antara pendidik dengan peserta didik. Penekanannya adalah pada kesadaran pendidik dan peserta didik mengenai kemampuan dan keberanian menghadapi realitas secara kritis dan bertindak mengubah dunia secara kreatif.
Dengan demikian, pendidikan harus berorientasi mengarahkan manusia pada pengenalan akan realitas diri dan dunianya dengan melibatkan dua unsur, yakni pengajar dan pelajar di satu pihak sebagai subyek yang sadar (cognitive) dan realitas dunia di pihak lain sebagai obyek yang tersadari (cognizable). Di sini, pendidik tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator bagi tumbuhnya perkembangan kesadaran peserta didik, namun sekaligus menjadi seorang rekan yang melibatkan dirinya sambil merangsang motivasi serta daya pemikiran kritis peserta didik.
Guru dituntut pula mampu berperan sebagai fasilitator yang membelajarkan siswa/i. Mereka dibangkitkan keingintahuannya untuk membedah berbagai masalah seputar lingkungannya dan membentuk opini terhadap masalah tersebut berdasarkan teori serta konsep yang telah dipelajarinya.
Apabila opini tadi kurang tepat, maka guru dapat menunjukkan yang benar atau membantu mencari alasan, bukti, juga referensi ilmiah demi mengkonstruksi pengetahuan baru. Semua dilakukan dengan tetap melatih kemampuan berpikir dan berinteraksi secara benar sehingga mereka tertarik lantas berkesimpulan, “Saya berpikir, maka saya ada ; saya mengalaminya, maka saya bisa.”
Penyampaian materi pelajaran pun hendaknya dilakukan dengan media yang interaktif dan atraktif, seperti alat peraga, skema/diagram, artikel, atau film pendek. Diharapkan siswa/i dapat merasa at home, menyenangi pelajaran, merasa membutuhkan ilmu itu, serta mampu melaksanakan pesan pembelajaran. Apa yang telah dipelajari langsung bisa diaplikasikan di masyarakat dan dibuktikan kesesuaiannya dengan kondisi riil lingkungan sosial, demikianlah seharusnya penutup dari proses pembelajaran yang disajikan oleh seorang guru sekaligus pendidik profesional. (*)
Oleh:
Fritz Hotman Syahmahita Damanik
Sosiolog, Alumni Jurusan Sosiologi FISIP USU
Staf Pengajar Mata Pelajaran Sosiologi SMA Harapan
Mandiri Medan