Polisi yang Sakti pun Lari
10:34, 04/02/2011Laporan wartawan Jawa Pos (Sumut Pos Grup), Agus Mustofa dari Kairo, polisi Mesir yang selama puluhan tahun sangat ditakuti warga, ternyata kalah juga oleh para demonstran. Puncaknya adalah Jumat malam (28/1), ketika polisi meninggalkan medan “peperangan” melawan warganya sendiri.
Saya yang berkeliling kota sehari setelah Jum’atul Ghodob alias “Jumat Penuh Amarah” itu menyaksikan bangkai puluhan kendaraan polisi dan markas-markas yang hangus terbakar.
Yang paling parah tentu saja markas-markas “polsek” dan “polres” yang berada di sekitar Maidan Tahrir. Tidak tersisa satu pun. Semuanya dibakar, dipecahi kacanya, dan dijarah. Mobil-mobil sedan, truk, pikap, kendaraan derek, dan sepeda motor tinggal bangkai yang ringsek dan gosong di halaman kantor yang berantakan. Rakyat Mesir benar-benar meluapkan amarahnya yang tertahan puluhan tahun.
Padahal, selama ini masyarakat Mesir bukan main takutnya kepada para polisi. Pokoknya, jangan sampai berurusan dengan petugas keamanan yang “sangat sakti” itu. Sebab, mereka bisa menangkap dan memenjarakan siapa saja tanpa proses hukum. Banyak di antara mereka yang berlaku sewenang-wenang terhadap orang yang dicurigai. Itu sangat memungkinkan karena Mesir memang dikendalikan secara darurat militer oleh Hosni Mubarak.
Orang kepercayaan Mubarak adalah Omar Suleiman yang kini diangkatnya sebagai wakil presiden untuk menjadi bumper dalam mempertahankan kekuasaan menghadapi masa demonstrasi yang kian meluas. Omar adalah kepala Mabahis alias badan intelijen Mesir yang sangat ditakuti warga. Bersama Habib al Adly, menteri dalam negeri yang baru lengser, Omar sangat dibenci rakyat Mesir. Mereka berdualah yang menjadi tangan kanan Mubarak dalam mengendalikan kelompok-kelompok yang menentangnya selama puluhan tahun berkuasa dengan tangan besi.
Tidak heran, ketika Omar diangkat menjadi wakil presiden, rakyat bukan malah senang. Mereka bertambah murka. Apalagi, perdana menterinya juga bawahan setia Mubarak, Ahmed Syafeq, yang berasal dari korps yang sama dengan Mubarak, yakni Angkatan Udara. Intinya, Mubarak memang bukan sedang mau melayani tuntutan rakyat, melainkan malah berusaha memperkuatnya.
Karena itu, demonstrasi besar-besaran yang diberi titel Yaumul Ghodob alias “Hari Kemarahan” itu memang benar-benar menumpahkan kemarahan yang terpendam selama ini. Apalagi, yang dihadapi adalah korps kepolisian yang mereka benci. Meledaklah emosi mereka. Puncak kekalahan pasukan polisi itu pun terjadi pada Jumat lalu.
Belasan ribu pasukan keamanan yang dikerahkan di Maidan Tahrir tak mampu membendung kemarahan puluhan ribu demonstran. Sehingga, menjelang tengah malam, pasukan polisi yang kewalahan benar-benar terpukul mundur. Bukan hanya dari Maidan Tahrir, melainkan dari seluruh penjuru kota. Bukan hanya di Kairo, tetapi juga di beberapa kota besar lain. Pasukan polisi menghilang dari seluruh penjuru negeri selama beberapa hari.
Efeknya benar-benar dahsyat. Massa demonstran dengan leluasa merangsek ke markas-markas polisi di berbagai pelosok kota. Seluruh properti aparat berseragam hitam putih itu dihancurkan oleh amuk massa. Saya menyaksikan dampaknya keesokan harinya, yakni Sabtu pagi saat berkeliling kota untuk mengetahui suasana terakhir.
Bangkai mobil polisi berserakan di mana-mana, seperti baru dilanda “tsunami api”. Kendaraan itu bukan hanya ringsek atau terbalik, melainkan juga gosong akibat kebakaran hebat. Bukan hanya mobil-mobil yang berada di lokasi demonstrasi, tetapi justru berada di halaman kantor-kantor polisi.
Gedungnya sendiri pun berantakan. Kaca-kaca jendela pecah dilempari batu. Banyak pintu yang copot. Mebel-mebelnya hilang atau hangus terbakar. Sedikit sekali gedung polisi yang masih utuh. Di antaranya yang berada di kawasan Abbas el Aqad. Gedungnya masih utuh, hanya sebagian kacanya yang pecah, karena kantor itu berada di balik pagar tembok tinggi. Tetapi, semua kendaraan di luar halamannya dalam keadaan terjungkir balik dan hangus terbakar, termasuk mobil derek lalu lintas.
Saya lantas menuju markas besar kepolisian di kawasan barat Kampus Al Azhar. Ternyata, gedung megah itu masih kukuh berdiri, dengan suasana yang sangat sibuk. Cuma, dalam radius beberapa ratus meter sudah dilindungi oleh beberapa kompi pasukan antihuru-hara, lengkap dengan segala persenjataan. Termasuk gas air mata, water cannon, dan senjata laras panjang.
Saya melihat, dari arah Al Azhar muncul ribuan demonstran menuju ke gedung mabes. Mereka bersenjata pentungan-pentungan besi yang dipatahkan dari pagar pembatas jalan yang dirobohkan. Secara berangsur-angsur massa berkumpul dan berhadapan dengan pasukan keamanan.
Dari jalur seberang saya menyaksikan kerumunan yang terus menyesaki jalan menuju Mabes. Tetapi, saya merasa agak heran karena dari kejauhan saya melihat mereka seperti tertahan oleh barikade yang kukuh. Mereka pun tidak bisa maju. Saya terus berusaha mendekatkan mobil dari arah seberang. Setelah agak dekat, barulah saya tahu alasannya.
Ternyata, yang berhadapan dengan para demonstran itu bukan hanya pasukan keamanan dari korps kepolisian. Mereka juga pasukan militer lengkap dengan barikade kawat berduri. Tapi, rupanya bukan cuma itu yang membuat massa demonstran berpikir dua kali untuk maju terus. Tapi ini: ada empat tank yang moncongnya terbuka dan diarahkan ke kerumunan massa yang terus berdatangan! Namun, akhirnya tank itu berhasil dikuasai para demonstran setelah beberapa hari dikepung.. (*/c2/iro/jpnn)