Ditangkap 3 Kali, dr H Edward Yakini Aborsi Itu Menolong

11:00, 05/02/2011

Klaim Hindarkan Kumpul Kebo

Aborsi bagi dr Edward tak melanggar agama selama usia janin masih di bawah tiga bulan. Dari Rp4 juta yang dibayarkan pasien, dia hanya menerima Rp600 ribu.

GUNAWAN SUTANTO

MENGENAKAN baju koko warna putih, dr H. Edward Armando tampak santai menghadapi penyidik di ruang sub unit Vice Control Satreskrim Polrestabes Surabaya kemarin (4/2). Pria kelahiran 14 April 1945 itu juga sama sekali tak keberatan ketika wartawan koran ini meminta waktu wawancara.

“Sebentar ya saya minum dulu, tenggorokan saya kering bicara terus,” ucapnya.

Padahal, kondisinya sebenarnya tak terlalu prima seiring usianya yang kian senja. Bicaranya sudah cadel akibat operasi tumor tenggorokan sekitar setahun silam.

Namun, ketegasannya dalam menyikapi tudingan aborsi yang diarahkan kepadanya tak pernah berubah: dia sama sekali tak menyesali apa yang telah ia perbuat. Sebab, bagi pria kelahiran Suriname tersebut, menangani aborsi berarti menolong orang lain. “Saya ini menolong orang yang tidak mempunyai biaya besar untuk pengguguran,” ucapnya.

Bukannya dia menerima uang Rp4 juta untuk tiap kali aborsi? Mendengar pernyataan itu Edward tersenyum. Dia menjelaskan bahwa selama ini dia sebenarnya tidak pernah mematok tarif khusus untuk pasien yang datang padanya. Pasien yang ditarif Rp4 juta rupiah itu kebanyakan berasal dari seorang perantara.

Seorang perantara yang ia maksud ialah Abdul Munif. Munif inilah yang juga ikut ditangkap polisi pada Kamis lalu (3/2) karena dianggap sebagai kaki tangan Edward.

Menurut Edward, biaya Rp4 juta rupiah itu tidak semua ia kantongi. Munif memotongnya sekitar Rp1 juta dari tiap pasien yang ia bawa. Sementara uang sisa Rp3 juta diserahkan Munif ke bagian kasir Edward.
“Dari tiga juta itu, saya hanya diberi 20 persennya, sisanya ya untuk mereka yang membantu saya,” papar Edward.

Dr Edward mengaku memiliki empat anak buah. Mereka adalah Retno (asisten perawat yang bertindak di bidang KB), Lide (pencuci alat-alat aborsi), Munif (calo sekaligus tukang suntik pasien), Hadi (kasir), dan Suwono (peracik resep pasien aborsi).

Praktis sekali mengaborsi, Edward hanya mengantongi sekitar Rp600 ribu. “Tapi, kalau pasien itu datang ke saya sendiri, semampu mereka (pasien) kalau soal tarif. Sekali lagi saya hanya ingin menolong,” ucapnya.

Karena diniatkan menolong itu, dia pernah menggratiskan pasiennya lantaran mengaku tidak mampu. “Yang datang seorang ibu tidak mampu, dia tidak ingin punya anak lagi katanya. Takut tidak bisa merawat dengan baik,” ucapnya.

Dari catatan Jawa Pos (grup Sumut Pos), aktivitas medis dr Edward sudah disorot sejak 1995. Pada 23 Oktober 1995, Departemen Kesehatan Surabaya melayangkan surat peringatan pertama karena praktiknya dianggap menyalahi prosedur dan kode etik.

Tapi, alumnus Fakultas Kedokteran Unair itu tidak menghiraukan. Dia pun terus membuka pelayanan aborsi yang datang ke rumahnya dan tidak membuka cabang.

Pada 1997, Polresta Surabaya Selatan menggerebek tempat praktiknya. Namun entah mengapa, dr Edward lolos dari jeratan hukum. Lima tahun berselang, polisi kembali menggrebek tempat itu. Namun, lagi-lagi dr Edward masih lolos.

Sejak saat itu, tempat praktik dr Edward pun semakin terkenal. Dia terus menerima pasien di rumah yang sama, Jalan Dukuh Kupang Timur Gang 10 Nomor 4.

Baru pada 2007, Satpidter Polda Jatim menggerebek dan menetapkannya sebagai tersangka bersama lima anak buahnya. Tapi, di Pengadilan Negeri Surabaya, dr Edward hanya diganjar setahun penjara. Tidak lama setelah keluar, awal 2009, dia kembali melayani permintaan aborsi.

Seperti saat dua kali ditangkap sebelumnya, Edward tetap berpegangan bahwa kegiatan aborsi yang ia lakukan tidak melanggar ajaran agama. Sebab, pria yang sudah pernah menunaikan ibadah haji itu menolak benar mengaborsi pasien yang usia janinnya di atas tiga bulan.

“Kalau di ajaran agama yang saya anut (Islam), di usia itu (di bawah tiga bulan) nyawa belum ditiupkan. Hukumnya masih mubah, itu ada bukunya,” imbuhnya.

Sepintas dari apa yang ada di rumahnya, Edward memang terkesan sosok yang agamis. Jawa Pos kemarin berkesampatan melihat kamar pribadinya. Luas kamar itu 1,2 x 5 meter. Di dalamnya, dipenuhi buku-buku Islam koleksi Edward.

Lantas mengapa ia juga menerima pasien aborsi yang belum menikah? Lagi-lagi bapak enam anak ini punya jawabnya. Dia mengaku bersedia menggugurkan janin pada pasiennya yang belum menikah asal ada persetujuan dari orang tua.
“Kalau dia tidak saya tolong, lantas orangtuanya malu tidak mau mengkawinkan keduanya, apa tidak jadinya mereka malah kumpul kebo?” ujar Edward balik bertanya.

laim dr Edward kalau dia justru bermaksud menolong dibenarkan seorang pasiennya yang juga ditangkap polisi, Heni Kusumawati. Heni yang dihamili pacarnya, Rendi Saputra (22) itu merasa terbantu karena aborsi
tidak bisa tidak harus dilakukan. Sebab, dia dan sang pacar sama-sama belum selesai kuliah.

Orangtua Rendi memang meminta janin di kandungan mahasiswi sebuah kampus kebidanan di Malang itu digugurkan dulu sebelum keduanya dinikahkan. Heni dan Rendi yang sama-sama kuliah di Malang itu memang langsung melapor ke orang tua masing-masing saat Heni tahu hamil dan usia janinnya sudah dua bulan.

Heni mendapatkan nama dr Edward melalui salah seorang rekannya yang dia sebut Elisa. Hubungan Heni dan Elisa hanya sebatas teman kenal, keduanya beda tempat kuliah.

Elisa mengatakan pada Heni kalau dr Edward berpengalaman dalam hal aborsi. “Saya tidak tahu dia (Elisa) pernah menggugurkan atau tidak. Yang saya tahu, Elisa tahu dr Edward dari Pak Munif,” ucap Heni yang mengaku baru tahu kalau aborsi itu melanggar hukum.

Elisa pun kemudian mengenalkan Heni pada Munif. Setelah berkenalan dan sepakat harga, Heni diantar Rendi dan orang tua Rendi menuju ke Surabaya. Sesuai perintah Munif, Heni dan keluarganya disuruh menunggu di depan Islamic Center, Jalan Raya Dukuh Kupang. Setelah sampai di tempat yang dituju, Heni akan dijemput oleh Munif.

Sesampai di Surabaya, Heni dan keluarganya ternyata tidak berhenti di Islamic Center. “Sebab, di sana tidak memungkinkan untuk parkir, akhirnya ayahnya Mas Rendi meminta menunggu Pak Munif di Carefour,” papar Heni. Carefour dan Islamic Center memang bersebelahan.

Setelah menunggu sekitar 1 jam di parkiran Carefour, datanglah Munif menjemput Heni. Dia dilantas diantarkan ke klinik dr Edward di Dukuh Kupang Timur Gang 10 nomor 4. Disana, terdaftar dengan nama samaran yakni Maya. Heni sempat melihat ada beberapa pasien perempuan lainnya. Setelah menunggu sekitar 30 menit, Heni kemudian mendapatkan penanganan.

Heni mengaku melihat sendiri uang Rp4 juta dipotong sekitar Rp1 juta oleh Munif. “Saat diruang suntik, saya melihat Pak Munif mengepit uang Rp3 juta dan ditulisi Maya. Sedangkan yang Rp1 juta ia bawa,” ucapnya. Menurut Heni, seluruh rangkaian proses aborsi sendiri memakan waktu sekitar 1 jam. Ketika sadar dari bius, dia mengaku masih menahan sakit dikandungannya. “Sakitnya itu sampai mau perjalanan pulang,” ucapnya.

Tapi, penderitaannya ternyata belum berakhir. Saat sampai di pintu tol Satelit dalam perjalanan pulang ke Malang, Heni ditangkap polisi. (jpnn)


YM

 
PLN Bottom Bar