Menangkap Harimau Berjenggot
10:15, 07/09/2010Berita Terkait:
- Pesan Bagi Para Hakim
- Strategi Maling
- Peringatan Aneh
- Raja Dijadikan Budak
- Tetap Bisa Cari Solusi
- Tipu Dibalas Tipu
- Menjebak Pencuri
- Menipu Tuhan
- Mahkota dari Surga
“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.” Kata-kata itu merupakan perintah Sultan yang diucapkan dengan tegas dan geram. Dari bentuk mulutnya, tampak Sultan menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang ajar.
“Ya tuanku Syah Alam. Semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari,”.
Pulanglah Abu Nawas ke rumah. Sesampainya di rumah dipanggilnya empat orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Dalam waktu tiga hari kandang itu selesai. Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang kerumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk kedalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut. Ia kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah. Istrinya menyanggupi.
“Hai Abu Nawas, tumben Lu shalat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu. Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas. “Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah.” “Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?”. “Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan.”
Penghulu pun ke rumah Abu Nawas dengan hati berbunga-bunga. Sesampai di sana, istri Abu Nawas langsung diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda apa gunanya punya suami jahat dan melarat, lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan, lebih baik kamu jadi istriku, kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa.”. “Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu awas.
Tak lama terdengar pintu diketuk orang, ketukan itu membuat penghulu belingsatan. “Kemana aku harus bersembunyi ia bertanya kepada nyonya rumah. “Silahkan bersembunyi di dalam kandang itu,” ia menunjuk kandang di kamar Abu Nawas.
Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan menutupnya dari dalam, sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu, sambil menengok ke kiri-kanan, Abu Nawas masuk ke dalam rumah.
“Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu.?” Tanya Abu Nawas.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Istrinya. “Apa putih-putih itu?” tanya Abu Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.
Setelah delapan hari, Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul kandang itu ke Istana. Di Bagdad orang gempar ingin melihat Harimau berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat, mendengar harimau berjenggot pun belum pernah. Mereka terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas.
Tetapi begitu dilihat penghulu di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si penghulu malu bukan main.
Sampai di istana, sultan bertanya. Mengenai usaha mendapatkan harimau berjenggot. “Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil,” jawab Abu Nawas.
Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain dengan muka merah padam karena malu, akan tetapi kemanapun ia menoleh, kesitu pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla. Abu Nawas buru-buru menimpali, “Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot.”
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Perlukah hamba memberitahukan kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba sendiri?” “Ya, ya,” ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. “ya aku maklum sudah.”
Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah berkhianat. Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu dari kandang dan diarak keliling pasar agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang berkhianat. (net/jpnn)