Jerat Baasyir, Kejaksaan Gunakan Tujuh Pasal
10:15, 04/02/2011Sidang Kasus Terorisme
JAKARTA- Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan telah melimpahkan berkas terdakwa kasus teroris Abu Bakar Ba’asyir ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Rabu (2/2). Saat disidang nanti, pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, ini akan dijerat tujuh pasal yang terkait aksi terorisme sekaligus.
“Dari kajian jaksa, akan ada tujuh pasal (dakwaan),” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) Babul Khoir Harahap kemarin (3/2).
Disinggung soal tempat persidangan, jaksa senior yang pekan depan akan dipromosikan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau ini menyebutkan, hal itu sepenuhnya kewenangan PN Jakarta Selatan.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan M Yusuf yang dihubungi terpisah, juga mengemukakan pernyatan yang sama. “(Pemindahan lokasi sidang) itu kewenangan pengadilan,” kata Yusuf.
Dipihak lain, Kepala Keamanan Dalam PN Jakarta Selatan, Kamari mengatakan, persidangan kemungkinan digelar di gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan. Pertimbangannya, selain karena faktor keamanan sebab Ba’asyir memiliki banyak pengikut, ruang pengadilan juga tak mampu menampungnya pengunjung yang diprediksi bakal membludak.
Sementara itu, tim pengacara Baasyir dan Tim Pembela Muslim (TPM) mengajukan pengujian pasal 21 ayat 1 dan penjelasan pasal 95 ayat 1 UU No 8/1981 tentang KUHAP, ke MK, Rabu (2/2). “Uji UU ini intinya tentang alasan penahanan yang selama ini ditafsirkan semaunya, dan menjadi upaya transaksional jual-beli (oleh penyidik),” ungkap Mahendradatta mewakili tim pengacara di Gedung MK, Rabu.
Menurut Mahendradatta, pasal 21 UU No 8/1981 berisi tentang alasan subjektivitas penahanan, tetapi selama ini ditafsirkan semaunya oleh aparat penegak hukum, dengan melakukan penahanan tanpa alasan yang jelas. “Yang namanya alasan itu harus dibuktikan, bukan sekadar kemauan semaunya,” katanya lagi.
Padahal, menurut Mahendradatta lagi, dalam UU No 8/1981 sudah dijelaskan, dalam melakukan penahanan (penyidik) tidak boleh semaunya. Karena menurutnya, harus ada penjelasan tentang tiga hal yang jelas, (yakni) alasan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, dan menghilangkan barang bukti.
Dilanjutkannya, kejadian semacam itu tidak hanya pada kasus penahanan Abu Bakar Baasyir. Namun, kasus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, juga merupakan salah satu bukti bahwa aparat penegak hukum telah semaunya sendiri melakukan penahanan, yakni dengan alasan sering melakukan konferensi pers. “Bahkan seseorang (bisa) ditahan dengan alasan tidak kooperatif,” lanjutnya.
“Sama halnya dengan penahanan 19 politisi (mantan anggota DPR) sekarang. Ini bukti bahwa penahanan selama ini dilakukan sewenang-wenang untuk kepentingan subyektif penyidik,”tandas Mahendradatta. (kyd/jpnn/agm/jpnn)