Cahyono, Kembali ke Pangkuan Islam

15:00, 07/09/2009

Dibimbing Roma Irama, Sering Dipanggil Berceramah

Satu per satu anggota pelawak Jayakarta Grup, telah meninggal dunia, Hasanuddin alias Uuk dan Suprapto alias Esther. Sedangkan Jojon, sudah lama keluar dari grupnya, sehingga bebas bermain di mana saja dan dengan siapa saja. Otomatis tinggal Cahyono sorangan diri.

Kendati begitu, hal tersebut tidak membuat Cahyono patah semangat. Pria kelahiran Banyuwangi, 26 Desember 1951 ini bertekad terus eksis dalam dunia lawak yang pernah melambungkan namanya di era tahun 70-an hingga 80-an. “Saya masih suka melawak, bukan dengan Jojon tapi dengan pelawak-pelawak lain,” tegasnya.

Menurut suami Nurbaiti ini, profesi pelawak dirintisnya dengan perjuangan keras. Ia malang-melintang di berbagai tempat dari Taman Ria Ancol sampai grupnya muncul di TVRI (1978). Saat itulah awal naiknya karier Cahyono. Jika melihat kondisi saat ini, Cahyono merasakan banyak perbedaan.

“Kalau sekarang para pelawak itu lebih enak. Stasiun TV juga banyak. Kalau dulu kan cuma ada TVRI. Makanya untuk masuk TV sulit. Sekarang baru bisa melawak sedikit sudah muncul di TV. Malah terkadang lawakannya masih dibuat-buat,” papar ayah dari tiga anak ini.
Selain melawak, sejak memeluk Islam, Cahyono mengaku kerap diundang untuk berceramah, baik di Jakarta, maupun di luar kota. Kegiatan tersebut telah ditekuninya sejak 1995. “Ya, hitung-hitung sekalian untuk bekal hari tua,” ungkapnya sambil tersenyum lebar.
Bicara soal agama, sebenarnya Cahyono dilahirkan dari keluarga muslim. Ayah dan ibunya beragama Islam. “Ketika kecil saya pun beragama Islam. Sampai pada usia 6 tahun, oleh orang tua, saya dimasukkan ke Sekolah Dasar Katolik. Di sekolah ini saya sering kali dicekoki doktrin Kristen: doktrin tentang ketuhanan Yesus dan Bunda Maria. Doktrin itu kalau sudah masuk ke dalam pikiran anak-anak, luar biasa pengaruhnya. Demikianlah yang saya rasakan saat itu,” katanya.

Cahyono mengaku, tanpa sadar dia menjalani hidup sebagai orang Kristen. Mulai dari cara berdoa sebelum makan, cara sembahyang dan lain sebagainya. Pada akhirnya, dia pun dibaptis dengan nama Paulus Tjahyono.

“Mengenai sekolah ini, saya ingatkan kepada orangtua agar tidak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah milik umat agama lain, meskipun mungkin sekolah itu mutunya lebih bagus. Sebab, sebagaimana yang saya alami, hal tersebut akan membawa perubahan besar dalam kehidupan beragama seorang anak,” bebernya.

Sejak SMP, bakat lawaknya sudah tampak. Karena itu, dia banyak disukai teman-teman. Mereka betah berkawan dan mendengarkan Cahyono melawak. Bahkan, dia telah membentuk grup lawak amatiran. “Sesekali grup lawak kami manggung di tempat-tempat pertunjukan kampung atau sekolah,” katanya.

Untuk mengembangkan bakat, pada tahun 1972, ketika itu usianya 21 tahun, dia mencoba peruntungan ke Jakarta. “Saya hijrah ke Jakarta. Saya katakan “hijrah” bukan pindah, karena di Jakarta saya menemukan kembali agama saya. Di sini saya bergabung dengan group komedi Jawa Timur,” ungkapnya.

Pada tahun 1974, Cahyono bertemu dengan Jojon yang saat itu aktif di group kesenian Jawa Barat. “Dari hasil bincang-bincang, kami bersepakat membentuk group lawak dengan nama Jayakarta Group. Bersama Uuk dan Joni Gudel. Kami manggung untuk pertama kali di Jakarta Fair,” jelasnya.

Karena semua temannya di Jayakarta Group beragama Islam, dia pun sering berdiskusi dengan Jojon, Uuk, Prapto atau Ester, mengenai Kristen dan Islam. Dari diskusi itu, dia tergugah untuk mempelajari Islam secara mendalam. “Mulailah saya membaca buku-buku Islam, baik yang berkaitan dengan tauhid, akhlak ataupun syariat,” bebernya.

Selain itu, dia juga dibimbing oleh Roma Irama, si Raja Dangdut. Dengan Roma, dia sering berdialog tentang Islam. Kebetulan dia tahu banyak tentang ajaran ajaran Katolik, sehingga dia mengetahui persis di mana letak kesalahannya. Dari diskusi itulah, ditambah dengan mempelajari sendiri buku-buku Islam, dia semakin meyakini kebenaran Islam.

Ajaran Islam mengenai keesaan Tuhan sangat jelas “Laailaha illallah” Tidak ada ilah (Tuhan) yang patut di sembah keculai Allah. “Dengan mengucapkan kalimat itu, berarti saya mengikrarkan diri bahwa tidak ada satupun benda, baik berupa kekuasaan, harta maupun hal-hal lainnya yang boleh menguasai hidup saya. Sebab, hidup saya hanya untuk beribadah pada Allah SWT,” ungkapnya.

Akhirnya, pada 1 Syawal 1412 Hijriyah atau tahun 1992 Masehi, usai melaksanakan salat Idul Fitri, Cahyono mengucapkan dua kalimat syahadat, di bimbing KH Rahatib dan disaksikan ribuan umat Islam yang baru saja melaksanakan salat Idul Fitri di Masjid Agung Banyuwangi, Jawa Timur. “Tentu saja orangtua saya sangat senang menyambut keislaman saya. Seolah olah mereka telah menemukan kembali anaknya yang hilang. (net/jpnn)


YM

Kata kunci pencarian berita ini:

 
PLN Bottom Bar