Tak Semua Bisa, Pengunjung Histeris
10:36, 06/01/2011Lompat Batu Adat Nias Digelar di Mal
Pekikan pengunjung membahana memecah keheningan di Cambridge City Square Jalan S Parman Medan, Rabu (5/1), saat menyaksikan atraksi lompat batu yang merupakan acara adat di Nias. Seperti apa?
INDRA JULI, Medan
Pukul 14.00 WIB, lokasi pameran foto Nias Bangkit kembali menyedot perhatian pengunjung. Bukan dengan deretan kursi undangan dan beberapa kegiatan seperti di acara pembukaan, Selasa (4/1). Melainkan karena teriakan sang pimpinan yang menandakan atraksi hombo batu (lompat batu) akan dimulai.
Tampak dua batu buatan setinggi 2 meter diletakkan di tengah salah satu ruang pameran.
Sementara di salah satu sisi berderet enam pria dengan mengenakan pakaian tradisional masyarakat Nias yang didominasi warna hitam, merah dan kuning. Lengkap pula dengan peralatan perang seperti tameng (baluse) dan tombak.
Di ujung deretan tampak dua pria (Ferris dan Omon) dengan kostum secorak berdiri menatap ke arah batu tadi. Diawali dengan seruan dari sang pimpinan, seorang penari pun melangkah dengan jarak tertentu untuk selanjutnya berlari dan melompat melewati batu tadi. Tak lama, pelompat kedua pun mengikutinya.
Merasa lompatan pertama terlalu mudah, pemimpin menambah tinggi batu dengan meminta salah satu anggota untuk tidur telungkup di atas batu. Kedua pelompat pun kembali melakukan tugasnya dengan baik. Begitu juga saat sang pimpinan menambahkan tameng di atas anggota tadi sehingga menambah tinggi dari batu yang akan dilompati.
Atraksi tadi pun mendapat aplaus dari para pengunjung. Bahkan beberapa fotografer sempat meminta aksi diulangi agar mereka mendapatkan moment yang pas untuk dokumentasinya. “Luar biasa, selama ini saya hanya melihat aksi ini dari televisi ataupun baca artikel di internet. Benar-benar mengagumkan,” ucap Harianto (32), seorang pengunjung.
Kekaguman Harianto itu mewakili seluruh pengunjung pameran foto Nias Bangkit di Cambridge City Square siang itu. Pasalnya, aksi yang sudah terkenal di seluruh dunia tersebut merupakan kali pertamanya digelar di mal. Selama ini, atraksi hombo batu yang biasanya dirangkai dengan tari perang (faluaya) ini dibawakan oleh fanayama di hotel-hotel maupun di lapangan terbuka.
Pimpinan sanggar Fanayama, Dasa Manao SSn pertunjukan tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan Pameran Foto Solidaritas untuk Nias, 6 Tahun Paska Tsunami yang digelar 4-5 Januari 2011. Dengan mengangkat ikon-ikon dari Nias, diharapkan dapat menggugah kebanggaan terhadap kesenian tradisional itu sendiri.
“Kita coba mengajak masyarakat Indonesia dimulai dari Kota Medan ini untuk mengenal Nias lebih dekat lagi. Karena pasca bencana alam tsunami 2005 lalu, kini Nias berbenah untuk bangkit. Dengan mengangkat salah satu kebudayaan tradisional ini kita juga mengimbau generasi muda untuk mengenali kembali jati dirinya yang sekarang sudah mulai hilang,” ucapnya.
Seperti yang disampaikan Dasa, lompat batu (hombo batu) merupakan tradisi yang sangat populer pada masyarakat Nias di Kabupaten Nias Selatan. Tradisi ini telah dilakukan sejak lama dan diwariskan turun temurun oleh masyarakat di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari).
Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak zaman para leluhur, pada zaman peperangan antar suku masih sering terjadi. Melatih diri agar kuat dan mampu menembus benteng lawan yang konon cukup tinggi untuk dilompati pun sebuah keharusan yang dipelajari setiap generasi muda khususnya pria.
Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini turut berubah fungsinya. Karena zaman sekarang mereka sudah tidak berperang lagi maka tradisi lompat batu digunakan bukan untuk perang lagi melainkan untuk ritual dan juga sebagai simbol budaya orang Nias.
Melompat batu bukan sekadar konsumsi atau atrakasi pariwisata seperti kita lihat sekarang ini. Melompat batu merupakan sarana dan proses untuk menujukkan kekuatan dan ketangkasan para pemuda, sehingga memiliki jiwa heroik yang prestisius.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya.
Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya ‘samu’i mbanua atau la’imba horo ( jika ada konflik dengan warga desa lain).
Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dsb. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi 2 meter.
Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan.
Untuk latihan dan permainan, sekumpulan anak laki-laki menumpuk tanah liat dan membentuknya seperti lompat batu, walaupun ketinggiannya tidak sama. Mulai dari satu meter. Setelah mampu melewati itu, maka mereka menumpuk tanah liat untuk menambah ketinggiannya. Permainan ini telah membuat anak-anak terbiasa melompat hingga dapat melompat batu setinggi dua meter dengan sempurna. Bahkan ada yang lebih.
Agar lebih mahir, pada sore hari, ketika para pemuda desa pulang dari ladang, maka mereka beramai-ramai latihan melompat batu. Terlebih pada sore hari minggu atau hari besar lainnya. Melompat batu merupakan sarana olah raga dan permainan yang menyenangkan bagi mereka dan menarik perhatian penonton.
Walaupun latihan terus, ternyata tidak semua laki-laki dapat melompat. Ada yang sangkut-sangkut terus. Bahkan ada juga yang sampai kecelakaan, misalnya patah lengan, kaki dll. Ada kepercayaan bahwa hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat batu, maka d antara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh.
Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia musti memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Sampai sekarang tradisi ini tetap eksis di tengah budaya moderen yang semakin menghimpit. Semoga saja kita dapat melestarikan budaya ini agar menjadi kebanggaan tersendiri untuk bangsa kita. (*)